Itu terjadi karena politik memerlukan aneka sumber untuk keberhasilan dalam memenuhi janji-janji tadi. Sumber politik bukan sekadar dana, tenaga, waktu, atau kapasitas organisasi, melainkan juga dukungan informasi, opini publik, loyalitas para pemilih. Yang menang atau yang kalah tak bisa selalu yakin bahwa semua sumber itu akan selalu ada dan pada saat diperlukan. Isu yang bermunculan dari dalam dan luar akan berpengaruh kepada perilaku sumber tersebut sebagai pemangku kepentingan. Di tengah globalisasi: sumber dana yang diperlukan suatu ekonomi bisa segera masuk, tetapi juga bisa segera keluar. Di tengah demokrasi: opini publik bisa berubah cepat.
Yang terpenting
Yang terakhir dan terpenting, sikap pemenang yang ikut garis the winner takes all rasanya tak cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Rezim demi rezim sejak kemerdekaan menunjukkan bagaimana sikap itu merupakan sumber keruntuhan. Saat rezim itu krisis dan jatuh, pada saat itulah rakyat Indonesia biasanya akan balik bersatu ke garis budaya politik musyawarah-mufakat. Demikian dari masa ke masa, seperti sebuah dalil tentang bandul jam penunjuk perubahan waktu yang terus saja bergoyang ke kiri ke kanan. Saat Proklamasi 1945 didengungkan, saat itu persatuan yang utuh dari rakyat Indonesia muncul. Ini juga terjadi saat Konfrontasi Irian Barat dan krisis dahsyat Gestapu. Terakhir, saat Indonesia diserang krisis multidimensi 1997-2001.
Saya kira pelajaran sejarah politik Indonesia di atas menunjukkan keperluan kita semua untuk selalu ingat pesan: kekuasaan, seperti apa pun wujudnya, selain memiliki sumber awal, juga pasti ada sumber akhirnya yang merongrong eksistensinya. Maka, jangan tahu apa itu kekuasaan sesudah kekuasaan itu lewat. (Seperti juga: jangan tahu muda saat sesudah tua, atau tahu sehat saat sakit). Harus selalu ingat pada saat menang dan saat kalah bahwa sebetulnya kita berhadapan muka ke muka dengan nasib, destiny, yang penuh rahasia. Sejarah selalu berjalan ke depan.
Demokrasi memerlukan keadaban, yang buat bangsa Indonesia adalah hidup secara musyawarah-mufakat dan dengan jiwa gotong royong. Landasan perjuangan bangsa ini telah disimpulkan Sumpah Pemuda 1928. Reformasi, demokratisasi, desentralisasi sejak 1998 sudah berhasil selamat menjalani Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sayang kalau negara-bangsa yang mau berubah dan yang bersemangat ini justru berhadapan dengan aktor politik yang tak mau berubah, malah mau kembali ke masa lalu demi kekuasaan berlandaskan rujukan bernilai rendah. Semoga generasi milenium yang berpuluh juta terjun sebagai pemilih pemula pada Pemilu 2014 belajar dari masa lalu NKRI yang kaya pengalaman itu.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Mantan Dubes RI untuk AS; Mantan Menko Perekonomian