Tidak terjadi evolusi karena perkembangan terjebak dalam involusi, yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju, tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada keinginan mendukung penegakan hukum dan gerakan anti korupsi, tetapi keinginan ini mengalami keguguran karena disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada keinginan untuk mempunyai kabinet dengan menteri-menteri yang clear and clean, tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta nasihat KPK tentang nama-nama calon menteri dipersoalkan.
Ada hasrat memajukan pendidikan nasional, tetapi perencanaan pendidikan selalu bersifat centang perenang karena dikelabui kepentingan pragmatis. Dari tahun 1945 hingga 2014 sudah terjadi pergantian kurikulum sebanyak 10 kali, yang berarti setiap kurikulum rata-rata berlaku kurang dari 7 tahun. Atau, ada keinginan menegakkan kedaulatan rakyat, tetapi hak rakyat memilih pemimpinnya diambil kembali dan diberikan kepada DPRD.
Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga pada Presiden Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya. Dalam sebuah pernyataan publik, dia mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya bakal mendukung pilkada secara langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang besar sebagai presiden, dia dapat mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU Pilkada dengan akibat RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR. Apa pun sebabnya, hal ini tidak dilakukannya.
Selain itu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dia dapat memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan langsung. Yang terjadi kemudian adalah Fraksi Partai Demokrat menyatakan meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting, dengan akibat bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) kalau kita masih diminta percaya bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.
Dua usul dapat diajukan di sini demi perbaikan. Pertama, para legislator kita di DPR sebaiknya merenungkan kembali tugas utama mereka sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan, tanpa sensibilitas sedikit pun tentang yang akan ditanggung rakyat akibat permainan mereka dengan kekuasaan. Menurut nasihat Bung Karno, machtsvorming, yaitu perebutan kekuasaan, adalah hal penting dalam politik karena politik tanpa kekuasaan adalah nonsense. Namun, perebutan kekuasaan harus disertai dengan kemampuan menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum, perlu disertai machtsaanwending karena tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar, para legislator akan bertindak seperti pemilik mobil mewah yang tidak tahu menyetir Jaguar dan menabrak mati orang-orang di jalanan.
Kedua, dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will baru ada artinya apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik, tidak digugurkan di tengah jalan karena orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari tujuan yang hendak dicapai. Tidak akan membawa kemajuan apa pun kalau setelah melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang lalu, langsung ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) setelah satu atau dua tahun, atau mempersulit implementasi kebijakannya di DPR melalui kekuasaan mayoritas anggota Dewan.
Dalam hal itu, negara maju seperti Amerika Serikat atau negara lain amat memuliakan apa yang dinamakan national interest. Dengan berbagai perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap orang akan tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional. Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye dan pemilu akan merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan terus-menerus terjebak dalam aborted progress karena kita sendiri menciptakan hambatan bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.
Dalam hal ini, pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri, dengan berusaha menyenangkan segala pihak. Yang kita inginkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh keyakinan: ini tanggung jawab saya. Seorang pemimpin tidak perlu mengatakan segala sesuatu, tetapi yang dikatakannya haruslah dapat dipercaya dan dijadikan pegangan seluruh bangsa.
Ignas Kleden Sosiolog
Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi