Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluar dari Jebakan Involusi

Kompas.com - 31/10/2014, 14:57 WIB

Tidak terjadi evolusi karena perkembangan terjebak dalam involusi, yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju, tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada keinginan mendukung penegakan hukum dan gerakan anti korupsi, tetapi keinginan ini mengalami keguguran karena disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada keinginan untuk mempunyai kabinet dengan menteri-menteri yang clear and clean, tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta nasihat KPK tentang nama-nama calon menteri dipersoalkan.

Ada hasrat memajukan pendidikan nasional, tetapi perencanaan pendidikan selalu bersifat centang perenang karena dikelabui kepentingan pragmatis.  Dari tahun 1945 hingga 2014 sudah terjadi pergantian kurikulum  sebanyak 10 kali, yang berarti setiap kurikulum rata-rata  berlaku kurang dari 7 tahun. Atau, ada keinginan menegakkan kedaulatan rakyat, tetapi hak rakyat memilih pemimpinnya diambil kembali dan diberikan kepada DPRD.

Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga pada Presiden Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya. Dalam sebuah pernyataan publik, dia mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya bakal mendukung pilkada secara langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang besar sebagai presiden, dia dapat mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU Pilkada dengan akibat RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR. Apa pun sebabnya, hal ini tidak dilakukannya.

Selain itu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dia dapat memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan langsung. Yang terjadi kemudian adalah Fraksi Partai Demokrat menyatakan meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting, dengan akibat bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) kalau kita masih diminta percaya bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.

Dua usul dapat diajukan di sini demi perbaikan. Pertama, para legislator kita di DPR sebaiknya merenungkan kembali tugas utama mereka sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan, tanpa sensibilitas sedikit pun tentang yang akan ditanggung rakyat akibat permainan mereka dengan kekuasaan. Menurut nasihat Bung Karno, machtsvorming, yaitu perebutan kekuasaan, adalah hal penting dalam politik karena politik tanpa kekuasaan adalah nonsense. Namun, perebutan kekuasaan harus disertai dengan kemampuan menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum, perlu disertai machtsaanwending karena tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar, para legislator akan bertindak seperti pemilik mobil mewah yang tidak tahu menyetir Jaguar dan menabrak mati orang-orang di jalanan.

Kedua, dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will baru ada artinya apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik, tidak digugurkan di tengah jalan karena orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari tujuan yang hendak dicapai. Tidak akan membawa kemajuan apa pun kalau setelah melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang lalu, langsung ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) setelah satu atau dua tahun, atau mempersulit implementasi kebijakannya di DPR melalui kekuasaan mayoritas anggota Dewan.

Dalam hal itu, negara maju seperti Amerika Serikat atau negara lain amat memuliakan apa yang dinamakan national interest. Dengan berbagai perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap orang akan tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional. Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye dan pemilu akan merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan terus-menerus terjebak dalam aborted progress karena kita sendiri menciptakan hambatan bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.

Dalam hal ini, pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri, dengan berusaha menyenangkan segala pihak. Yang kita inginkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh keyakinan: ini tanggung jawab saya. Seorang pemimpin tidak perlu mengatakan segala sesuatu, tetapi yang dikatakannya haruslah dapat dipercaya dan dijadikan pegangan seluruh bangsa.

Ignas Kleden Sosiolog
Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com