Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluar dari Jebakan Involusi

Kompas.com - 31/10/2014, 14:57 WIB

Oleh: Ignas Kleden

KOMPAS.com - Setiap bangsa mengalami bahwa tidak ada perkembangan sosial yang bersifat unilinear, bagaikan jalan lurus ke depan dengan gerak maju yang serba mulus. Selalu ada faktor-faktor obyektif yang dapat menghambat.

Sekalipun demikian, kemajuan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa krisis politik adalah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi "perang suksesi".

Memang, konflik horizontal masih muncul di sana-sini, dan beberapa aksi teroris masih terjadi, demikian pula ketegangan sektarian antarkelompok. Meski demikian, pemerintahan berjalan tanpa krisis politik. Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat, sementara pers Indonesia tak lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya, dunia menaruh hormat yang tinggi karena rakyat Indonesia dapat memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat secara langsung, mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan anggota DPR hingga tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.

Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, apakah pemilihan kepala daerah masih perlu diteruskan secara langsung atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya, pemilihan langsung banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan serta mudah menimbulkan konflik horizontal, di samping membutuhkan biaya amat besar. Pemilihan tak langsung oleh DPRD akan menghemat triliunan rupiah. Jokowi menjawab, hal terpenting dalam pemilihan langsung adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal adalah masalah teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.

Jangan salahkan rakyat

Dengan argumen-argumen yang solid, banyak penulis telah membantah keberatan terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Tulisan ini memilih untuk memberi perhatian khusus kepada alam pikiran atau visi soal perkembangan sosial. Pada titik inilah dipertaruhkan subyektivitas dalam menghadapi kemajuan. Rakyat kita sering dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi rakyat tidak bisa dipersalahkan karena meluasnya praktik politik uang di Indonesia. Siapa yang mulai memperkenalkan politik uang?

Dengan pasti bisa dikatakan, politik uang berawal dari para elite politik karena merekalah yang mempunyai dana dan kemudian percaya bahwa kehendak rakyat dapat dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi, lalu berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini, lambat laun permintaan suara oleh para elite politik terus meningkat sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar, permintaan yang meningkat akan menaikkan harga suara pemilih. Transaksi jadi mahal dan menyebabkan pemilihan kepala daerah memerlukan biaya tinggi, bahkan sangat tinggi.

Namun, biaya tinggi hanyalah akibat politik transaksional yang diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akibat ini kemudian dijadikan sebab dan alasan dalam menolak pemilihan langsung dan menggantinya dengan pemilihan tak langsung oleh DPRD. Padahal, biaya tinggi itu bisa diatasi kalau para elite politik menghentikan praktik politik uang, sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan tawar-menawar secara liar, tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf hidup dan menciptakan kesejahteraan dengan keadilan.

Tentu saja setiap kampanye perlu biaya  (untuk transportasi, iklan, atribut, konsumsi pertemuan, dan lain-lain). Namun, biaya kampanye tidak perlu mencakup dana untuk membujuk konstituen dan membeli suara mereka. Sayangnya, setelah politik transaksional ini menjadi amat mahal, rakyat kembali dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk memilih secara langsung sehingga pemilihan kepala daerah harus diserahkan kembali ke DPRD.

Semua orang tahu, DPR di Indonesia sekarang ini pada segala tingkatannya bukanlah lembaga negara dengan nama yang harum. Sebuah survei tentang Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain seperti pemerintah daerah, pengadilan atau partai politik, DPRD adalah lembaga negara yang mempunyai indikator kinerja paling buruk untuk tahun 2013. Dengan tiga tingkat skor yang ditetapkan, yaitu 80-100 sebagai indikator kinerja yang baik, 60-79 untuk kinerja yang sedang, dan di bawah angka itu adalah indikator kinerja yang buruk, skor untuk kinerja DPRD adalah 36,62.

Dapat dibayangkan jadinya kalau pilkada akan dilaksanakan lembaga dengan kinerja yang paling buruk ini. Pengandaian bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik hasilnya sudah dapat ditolak sejak awal. Selain itu, pilkada oleh DPRD akan membuat posisi politik kepala daerah tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan kesetaraan Trias Politika di daerah.

Peristiwa ini terjadi pada saat pemilihan langsung di Indonesia mulai mengilhami beberapa negara lain untuk melakukan hal yang sama. Malaysia, Myanmar, dan Mesir sedang berpikir untuk menerapkan pemilihan langsung, sementara Hongkong bergolak dalam Umbrella Revolution untuk menuntut pemilihan eksekutif Hongkong secara langsung dan menolak sistem pemilihan melalui perwakilan yang dikehendaki Pemerintah Beijing. Suatu koinsidensi yang amat menyakitkan bahwa saat puluhan ribu pengunjuk rasa berdemonstrasi di pusat keuangan Hongkong menuntut pemilihan langsung sambil menghadapi hadangan polisi, DPR kita memutuskan melalui voting pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali berlaku.

Kemajuan digugurkan

Diberlakukannya pilkada secara tak langsung ini menjadi contoh bagi aborted progress, yaitu kemajuan yang mengalami keguguran atau digugurkan oleh subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya mereka yang mengambil keputusan. Kecenderungan ini mengakibatkan gagalnya perkembangan menuju tahapan yang lebih maju karena prosesnya melingkar-lingkar ke dalam dengan kerumitan semakin tinggi, tetapi hanya menghasilkan gerak di tempat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com