Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyelamatkan Demokrasi

Kompas.com - 16/10/2014, 11:19 WIB


KOMPAS.com - SIAPA pun yang menyaksikan drama politik nasional pasti dibuat bingung dengan aksi teatrikal sejumlah elite politik di Senayan.

Pengesahan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD menjadi titik balik yang menggerus optimisme rakyat akan tercapainya transisi dan konsolidasi full-fledged democracy di negeri ini. Meminjam Cristopher Lasch (1996), perilaku elite di balik pengesahan UU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk pengkhianatan atas demokrasi (betrayal of democracy) di jantung demokrasi.

Sinyalemen ”pengkhianatan atas demokrasi” mungkin terkesan hiperbolis. Namun, sinyalemen itu harus menjadi bahan refleksi bagi para elite partai politik sebelum rakyat benar-benar murka dan menarik mandat mereka. Kekuasaan yang diraih para wakil rakyat bukanlah cek kosong untuk berbuat semau gua tanpa mengindahkan aspirasi si pemberi mandat. Sudah saatnya partai politik secara cerdas membaca aspirasi rakyat melalui hasil-hasil survei sebagai basis bagi gerak langkahnya. Pengabaian aspirasi rakyat merupakan tindakan arogan yang dapat mencederai amanat mereka.

Dekonsolidasi demokrasi

Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung parlemen menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.

Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, tetapi oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri pemimpin yang dikehendaki.

Juan J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi sebagai proses dua tahap: tahap transisi dan konsolidasi. Tahap transisi adalah ketika sebuah rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1) terdapat kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya, 4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tahap kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan tiga karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka parameter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik yang parah sekalipun; 3) dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sepakat bahwa konflik politik diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim demokrasi.

Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.

Mekanisme pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas sejumlah kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala bentuk kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan. Kelemahan pemilihan langsung sangat terkait dengan integritas moral dan budaya politik bangsa kita yang masih membuka peluang bagi beraneka bentuk moral hazard dimaksud.

Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara demokrasi liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan Pancasila (sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak langsung).

Memperhadapkan keduanya secara diametral bukan saja merupakan sebentuk simplifikasi berpikir, tetapi juga reduksionisme epistemologis. Demokrasi dan Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk diperbandingkan, terlebih diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and blood dalam sistem kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.

Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas tidak ada kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila, bertuhan atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian dari hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan. Sejalan dengan itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan, melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan melindungi.

Perlawanan rakyat semesta

Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi kita sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan anarkistis pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga.

Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu terjadi seandainya tidak ada ”dusta di antara kita” melalui aksi teatrikal sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden mengeluarkan jurus ”penyelamatan citra” melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.

Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat pinggiran. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus terjadi di panggung politik kita.

Memang partai politik yang berusaha melawan aspirasi rakyat pasti akan mendapat hukuman dari konstituen pada saat pemilu. Namun, kita tidak perlu menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap kita dalam menegakkan hak-hak dasar warga.

Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini bahwa memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya dengan sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, raison d’etre institusi demokrasi adalah untuk menjamin, menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.

Masdar Hilmy Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasional
PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

Nasional
Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Nasional
Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Nasional
Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Nasional
Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Nasional
Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com