JAKARTA, KOMPAS.com — Tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Bupati Biak Numfor Papua, Yesaya Sombuk, dihukum enam tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Yesaya dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima suap dari pengusaha Teddy Renyut terkait dengan proyek pembangunan tanggul laut di Biak.
"Kami menuntut supaya majelis hakim tindak pidana korupsi memutuskan menyatakan Yesaya Sombuk terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan primer," kata jaksa Herudin membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (29/9/2014).
Dalam tuntutannya, jaksa mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan Yesaya. Menurut Haerudin, hal yang memberatkan karena Yesaya melakukan tindak pidana korupsi saat negara tengah giat memberantas tindak pidana korupsi. Yesaya juga berinisiatif untuk meminta uang kepada Teddy Renyut.
Menurut jaksa, Yesaya terbukti menerima uang 100.000 dollar Singapura dari Teddy. Uang tersebut diterimanya dalam dua tahap, yakni 63.000 dollar Singapura pada 11 Juni 2014 dan 37.000 dollar Singapura pada 16 Juni 2014.
"Terdakwa mengetahui bahwa perbuatannya menerima uang adalah untuk menggerakkan terdakwa dalam jabatannya selaku Bupati Biak supaya pekerjaan rekonstruksi tanggul laut yang sedang diusulkan diberikan kepada Teddy. Perbuatan terdakwa yang telah menerima uang itu telah bertentangan dengan terdakwa sebagai penyelenggara negara," kata jaksa Gina.
Yesaya pertama kali berkenalan dengan Teddy sebelum dia dilantik sebagai Bupati Biak pada Maret 2014. Kemudian setelah dilantik, Yesaya kembali mengadakan pertemuan dengan Teddy. Selanjutnya, Yesaya mengajukan permohonan pembangunan tanggul laut kepada Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).
Anggaran untuk proyek ini rencananya Rp 20 miliar. Kemudian pada Juni 2014, Yesaya menghubungi anak Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Biak Numfor Yunus Saflembolo dan menyampaikan bahwa dia sedang butuh uang. Yesaya juga meminta Yunus menyampaikan kebutuhannya itu kepada Teddy.
"Pada 5 Juni terdakwa langsung menelepon Teddy dan mengajak bertemu," sambung jaksa Gina.
Dalam pertemuan itu, Yesaya langsung menyampaikan bahwa dia butuh uang sekitar Rp 600 juta. Ketika itu, Teddy menjawab bahwa dia sedang tidak punya uang, tetapi dia bisa meminjam dari bank asalkan perusahaan Teddy, yakni PT Papua Indah Perkasa diberikan pengerjaan proyek.
Setelah pertemuan tersebut, Yesaya langsung memerintahkan Yunus untuk mengecek kepastian proyek tanggul lain di Kementerian PDT.
"Terdakwa (Yesaya) lalu sampaikan kepada Teddy kalau ada proyek kau yang kawal," kata jaksa Gina.
Tak lama setelah itu, Teddy menyerahkan uang kepada Yesaya di Jakarta sebesar 63.000 dollar Singapura. Merasa belum cukup, Yesaya kembali meminta uang kepada Teddy melalui Yunus. Atas permintaan itu, Teddy mengabulkannya.
Dalam pertemuan di Hotel Acacia Jakarta, Teddy menyerahkan uang sebesar 37.000 dollar Singapura kepada Yesaya.
"Sambil bilang tolong diperhatikan, Pak, pekerjaan di Biak," sambung jaksa Gina.
Tak lama setelah penyerahan uang tersebut, petugas KPK menangkap Yesaya dan Teddy. Dalam kasus ini, Teddy juga berstatus sebagai terdakwa. Siang ini, tim jaksa KPK juga dijadwalkan membacakan tuntutan Teddy di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.