JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, belakangan dikenal luas dengan vonis berat kasasi dalam beragam kasus. Sebut saja kasus Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, Djoko Susilo, dan Labora Sitorus.
Kompas.com mendapat kesempatan melakukan wawancara khusus dengan Artidjo, Kamis (18/9/2014), selama hampir dua jam. Ditemui di ruang kerjanya, Artidjo bertutur banyak hal, dari soal prinsipnya dalam membuat putusan perkara hingga kehidupan keseharian, yang akan kami turunkan dalam tulisan berseri.
Bapak keras sekali kalau menjatuhkan vonis kasasi?
Tidak, saya (membuat putusan) sesuai hukum. Hakim itu memeriksa berdasarkan surat dakwaan, bukan (berdasarkan) tuntutan. Kan banyak yang bilang ga dituntut kok dihukum. Hakim itu (membuat putusan) berdasarkan surat dakwaan.
Ada latar belakang di kehidupan pribadi yang melatari semangat menjatuhkan vonis kasasi?
Tidak juga. Saya biasa-biasa saja. Tentu pengalaman saya sebagai pengacara berpengaruh, terutama saya dulu kan habiskan di LBH (lembaga bantuan hukum), sebelum saya buka kantor sendiri. Pengacara LBHlah saya ini, (di kasus) penembakan misterius, penggusuran candi borobudur (dan) prambanan, di Timor Timur, di Madura, (kasus) petani garam Madura, subversi di Madura, penyelewengan pemilu di Madura.
Background pengalaman batin itu (tentu) mempengaruhi saya. Sehingga senjata saya hanya kebenaran moral saja. Kalau saya benar secara moral, kita jalani saja.
Kan tak hanya bapak yang punya perjalanan begitu. Tapi kenapa masyarakat nilai kalau pak Artidjo hakimnya maka vonisnya berat, terutama untuk kasus korupsi?
Saya kembali lagi berdasarkan surat dakwaan. Korupsi itu bingkainya, (hukuman) uang pengganti sebanyak-banyaknya yang diperoleh, (kan kerugian negara) bisa mengalir ke lain. Pidananya, korupsi itu kan beda dengan kejahatan lain, kejahatan luar biasa dan berdampak pada masa depan bangsa dan negara. Dampak (korupsi) sangat terasa. Indonesia yang kaya raya secara natural, tapi rakyatnya banyak yang miskin, ngemis di jalan. Ini kan ironi.
Seharusnya kalau demokrasi jalan, demokrasi ekonomi juga jalan. Ternyata di tengah jalan ini ada tikusnya yang menggerogoti, sehingga tak sampai terus. Itulah yang disebut korupsi menimbulkan kemiskinan struktural. Jadi kalau orang tak punya jabatan, ketika sistemnya korup meskipun bekerja 24 jam petani tak akan pernah kaya, ada saja mafia (yang korup). (Ada) mafia pupuk, dan sebagainya, daging sapi juga diimpor.
Hukuman yang pasti berat hanya untuk kasus korupsi?
Tidak, (tapi juga untuk kasus) yang berhubungan dengan negara, (dan dilihat) korbannya.
Tapi ada intensi khusus kalau untuk korupsi?
Tidak. Narkoba ada yang vonis mati juga. Pajak juga.
Pajak itu ironi juga. Masak pajak ditransaksionalkan, kamu sekian, perhitungan ini sekian. Saya kira itu kejahatan luar biasa. Pagar makan tanaman. Masak pajak berkompromi dengan pembayar pajak. Saya tinggikan juga itu, banyak juga.
Ideologis ya, bukan karena pengalaman? Kan ada yang begitu karena keluarga pernah jadi korban?
Tidak ada.
Dulu bela orang kecil, pengaruh?
Iya, itu pengaruh. Capai access to justice, akses keadilan, masyarakat tak mampu dalam arti lemah ekonomi dan lemah secara politik tak punya akses. Rakyat hanya jadi mainan, misalnya, di pesta demokrasi, misalnya dikasih uang untuk memilih. Itu kan dampak dari sistem yang harus dibenahi.
(ANN)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.