Rasionalisasi tautan otonomi daerah
Salah satu sumber perseteruan antara gubernur dan bupati/wali kota yang sering terjadi adalah pilkada secara langsung di dua tingkat pemerintahan sekaligus. Bupati/wali kota merasa bahwa dirinya memiliki privilese politik yang sama dengan gubernur karena sama-sama dipilih oleh rakyat.
Tak sedikit bupati yang mengabaikan posisi gubernur, bahkan berambisi untuk segera mengakhiri masa jabatan gubernur di wilayahnya.
Sebaliknya, banyak gubernur mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap kabupaten ketika bupatinya berseberangan politik dengannya. Diskriminasi pembagian dana otonomi khusus di Aceh dan Papua merupakan salah satu contohnya.
Perseteruan antara gubernur dan bupati/wali kota semacam itu tak dapat diredam hanya dengan sekadar meningkatkan kewenangan gubernur tanpa pembenahan perekrutan kepala daerah. Hal ini sudah terbukti dengan hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 dan PP Nomor 23 Tahun 2011 yang tak efektif sebagai alat menyelesaikan konflik antara gubernur dan bupati/wali kota.
Jika kabupaten/kota tetap diberi otonomi luas sebagai ujung tombak pelayanan publik, pilkada langsung menjadi sangat relevan diberlakukan di tingkat ini. Provinsi selayaknya didudukkan sebagai intermediary institution dalam rangka memperkuat jalinan kesatuan antara pusat dan daerah.
Untuk itu, pilkada secara langsung kurang efektif menghasilkan gubernur yang dapat memainkan peran sebagai wakil pemerintah pusat, terutama dalam menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan.
Pilkada langsung ataupun melalui DPRD tidak akan menjamin terciptanya pemerintahan lokal yang governable jika perpecahan di dalam eksekutif terjadi lantaran pencalonan satu paket.
Dikotomi pilihan itu juga tidak akan menjamin penguatan akuntabilitas kepala daerah jika mekanisme kutu loncat masih diperbolehkan. Oleh sebab itu, perdebatan hitam-putih pilkada selayaknya tidak diperpanjang dengan mulai memikirkan pembenahan sistemik untuk menghasilkan lembaga eksekutif lokal yang kuat dan lebih akuntabel sekaligus menjamin harmonisasi hubungan antartingkat pemerintahan.
Mardyanto Wahyu Tryatmoko
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI