Oleh: Mardyanto Wahyu Tryatmoko
KOMPAS.com - Kini masyarakat disuguhkan dengan perdebatan hitam-putih mekanisme pemilihan kepala daerah apakah secara langsung atau melalui DPRD. Persoalannya, apakah pilkada yang cocok untuk konteks Indonesia hanya sesederhana menentukan satu di antara pilihan itu untuk provinsi, kabupaten, dan kota secara seragam?
Diskusi publik seharusnya mulai diperluas dengan tidak hanya membahas dikotomi politik elektoral semata. Esensi pembenahan mekanisme pilkada juga harus mampu menuntaskan kasus nyata seperti perseteruan antara gubernur dan bupati/wali kota, pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya, serta kepala daerah yang cepat lompat pagar sebelum masa jabatannya usai.
Para politisi di Senayan tidak perlu mempertegas pengubuan politik Pemilu Presiden 2014 dalam pembahasan pembenahan pengaturan pilkada. Jika tidak ingin melakukan perbaikan parsial dan simtomatis, keputusan pengaturan pilkada harus arif mempertimbangkan berlakunya sistem pemerintahan, desentralisasi, dan otonomi daerah, serta dinamika sosial yang berkembang di tingkat bawah.
Kongruensi sistem presidensialisme?
Mekanisme pilkada memang perlu berkaca pada jenis sistem pemerintahan yang dianut. Namun, tidak berarti bahwa model pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia saat ini memprasyaratkan pemilihan kepala daerah secara langsung di semua level pemerintahan.
Kasus Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa perekrutan kepala daerah di seluruh tingkat pemerintahan daerah tidak harus kongruen dengan penentuan kepala negara di tingkat nasional. Bahkan, pilkada di level pemerintahan tertentu diberlakukan secara asimetris.
Inggris yang menerapkan sistem parlementer, misalnya, belakangan ini justru getol menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung yang berbau presidensial.
The Greater London Authority Act 1999 merupakan pijakan pertama bagi Inggris untuk memilih kepala daerah secara langsung. Setelah itu, pemerintah nasional Inggris mengeluarkan kebijakan menghargai keragaman dengan merumuskan empat pilihan model pemerintahan lokal yang dimuat dalam UU Pemda Tahun 2000.
Keempat model tersebut adalah mayor/cabinet, mayor/council-manager, cabinet, dan sistem komite yang dimodifikasi (Hambleton dan Sweeting, 2004). Pemilihan kepala daerah langsung melekat pada model mayor/cabinet dan model mayor/council-manager.
Di Amerika Serikat semua gubernur negara bagian dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi di tingkat city dan municipality pemilihan kepala daerahnya tidak seragam.
Sebagai negara yang juga menganut sistem presidensial, tidak sedikit pemerintah daerah yang menerapkan model weak-mayor, council-manager, dan city-commission. Ketiga model ini esensinya menerapkan sistem semi-parlementer.
Kepala daerah di dalam model weak-mayor, city-commission, dan sebagian di council-manager tidak dipilih secara langsung, tetapi dipilih atau diangkat oleh council. Jika dikalkulasi, pemda yang tidak menerapkan pilkada langsung lebih banyak dengan perbandingan sekitar 60:40 (ICMA).
Pelajaran yang dapat diambil dari kasus tersebut adalah pilkada di semua lapis pemerintah daerah tidak harus kongruen dengan sistem pemerintahan yang dianut di tingkat pusat.
Penentuan sistem pilkada juga tidak harus didasarkan atas alasan kebaikan demokrasi langsung atau efisiensi secara terpisah. Lebih penting dari itu bahwa konteks sistem otonomi daerah, kapasitas, dan dinamika lokal perlu juga dipertimbangkan.