Reformasi bergulir dan berlangsung desentralisasi kekuasaan negara sebagai reaksi atas negara otoriter, sentralistis, dan predatoris Soeharto. Para oligark yang telah kehilangan Soeharto harus mereorganisasikan kekuasaannya melalui partai-partai politik, pemilihan umum, dan parlemen, baik di pusat maupun di daerah (Hadiz: 2006).
Para oligark tak bisa lagi memerintah dengan cara yang sama sebagaimana yang dibangun dan dipertahankan Soeharto. Mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem multipartai yang telah disediakan pemerintahan Habibie. Awalnya memang bingung, tetapi mereka ternyata bisa kembali dan menyesuaikan diri dengan situasi politik baru. Akhirnya, para oligark dapat menguasai politik, tetapi dengan kekuatan politik uang (money politics).
Dengan begitu, liberalisasi politik dan ekonomi adalah hasil ketegangan antara rezim Soeharto dan pihak-pihak yang menentangnya, tidak jatuh dari langit. Keran kebebasan pers dibuka, UU HAM disediakan, daerah operasi militer di Aceh dicabut, tahanan politik dibebaskan, dan bahkan dilakukan perubahan atas UUD 1945 yang menegaskan prinsip kedaulatan di tangan rakyat—bukan di tangan MPR, DPR, dan apalagi di tangan DPRD.
Rampas daulat rakyat
Proses demokratisasi politik dan kompetisi bisnis yang lebih terbuka adalah hasil pergulatan panjang dalam melawan kekuasaan oligarki Soeharto. Namun, kini aliansi mereka telah berubah dan menyesuaikan diri melalui partai-partai, pemilu, parlemen, dan pemerintahan dengan kekuatan politik uang. Masalah dan tujuan mereka tetap sama, yaitu berebut alokasi sumber-sumber kekayaan dan akses pada negara.
Meskipun begitu, liberalisasi politik dan desentralisasi kekuasaan negara memungkinkan partisipasi rakyat sedikit berperan serta menguatnya independensi kekuasaan kehakiman dan penegak hukum yang secara khusus fungsi dan peran KPK, selain BPK dan PPATK, sehingga tak sedikit kasus korupsi yang terbongkar.
Memang masih kecil-kecilan, tetapi yang terbongkar banyak. KPK masih belum dapat menguak kasus bail out Bank Century dan beberapa pemutihan pajak para konglomerat. Dalam kasus korupsi proyek Hambalang, BPK menghitung kerugian negara Rp 463 miliar. Belakangan KPK sudah mengincar jaringan mafia migas. Mabes Polri juga sudah menyisir rekening senilai Rp 1,3 triliun dari bisnis bahan bakar minyak ilegal di Batam.
Dengan kasus-kasus korupsi itu dapat dipetik manfaatnya dari hasil liberalisasi politik. Para oligark tak bisa lagi sepenuhnya menguasai lembaga-lembaga politik, terutama penegak hukum baru yang telah dibentuk dan lebih independen. Mereka juga tak dapat terus-menerus menyediakan uang politik untuk menjinakkan rakyat.
Sebagai contoh dalam politik elektoral, pasangan calon dalam pilkada langsung DKI Jakarta yang hanya didukung dua partai sukses menjungkalkan gabungan banyak partai yang mengandalkan kekuatan politik uang. Terakhir, dalam Pilpres 2014 kembali disuguhkan bahwa kekuatan politik uang masih dapat dikalahkan.
Rakyat muak
Mungkin saja rakyat sudah muak dengan perilaku elite partai dan para oligark sehingga rakyat menghukumnya secara politik dengan tidak mendukung mereka dalam suatu elektoral secara langsung. Namun, beberapa kekalahan inilah yang tampaknya memotivasi mereka untuk menyalahkan pilkada langsung sebagai tidak menganut Pancasila dan UUD 1945—persis seperti Soeharto "menghajar" para penentangnya.
Dengan mengubah pilkada langsung yang dipilih rakyat menjadi pilkada oleh DPRD bukan saja memaksa pemilihan melalui calo, bahkan kedaulatan rakyat dirampas. Hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan kepala pemerintahan di daerah dicabut. Maka, bukan lagi kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan DPRD.
Pimpinan Koalisi Merah Putih menginginkan pilkada tanpa rakyat. Namun, akan kita lihat nanti, apakah DPR mempunyai kerendahan hati untuk terlebih dahulu meminta pendapat rakyat atau tidak sama sekali sebelum mengesahkan pilkada oleh kekuasaan DPRD?
Akankah DPR menyetujui RUU Pilkada dengan meninggalkan partisipasi rakyat? Beranikah DPR bersetia kepada daulat rakyat?
Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute