Dilihat dari segi waktu pengajuan, revisi UU baru dilakukan setelah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi menolak upaya parpol Koalisi Merah Putih terkait proses Pilpres 9 Juli 2014.
Proses pembahasan revisi UU Pilkada di parlemen juga memperlihatkan sikap partai-partai yang tak sepenuhnya senada meski dalam satu perahu koalisi. Pada Mei 2014, misalnya, semua fraksi menyepakati pemilihan gubernur melalui pilkada langsung. Sementara untuk pemilihan bupati/wali kota, hanya fraksi dari Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, Gerindra, PDI-P, dan Partai Hanura yang setuju dengan pilkada langsung.
Pada 3 September 2014, hanya tersisa fraksi dari PKS, PDI-P, PKB, dan Partai Hanura yang menyetujui pilkada langsung untuk pemilihan gubernur. Sementara untuk pemilihan bupati/wali kota, hanya PKS, PDI-P, dan Partai Hanura yang setuju dengan pilkada langsung.
Pada 9 September 2014, peta politik berubah lagi. Baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota, hanya fraksi dari PDI-P, PKB, dan Partai Hanura yang menyetujui pilkada langsung, sedangkan fraksi lain memilih pilkada melalui DPRD.
Dengan demikian, praktis agenda pembahasan UU ini lebih merupakan bagian dari konstelasi politik yang tetap panas pasca pilpres. Parahnya, agenda ini secara telak mengingkari unsur terpenting dari perjuangan reformasi yang sudah susah payah diupayakan untuk membongkar praktik gaya oligarki kekuasaan era Orde Baru.
Kepala daerah
Terlepas dari problem anggaran yang boros melalui pilkada langsung, bukti positif dari pelaksanaan pilkada langsung juga bertebaran. Salah satu yang menonjol adalah munculnya pejabat kepala daerah yang disukai publik karena memberikan alternatif pendekatan solusi masalah bagi masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil adalah contoh nyata pemimpin produk pilkada langsung yang disukai masyarakat.
Bahkan, Joko Widodo melesat menjadi pemenang pilpres dalam hitungan dua tahun sejak menjabat wali kota dengan mengandalkan sistem pemilu langsung. Tanpa mekanisme politik pemilu langsung, mustahil calon-calon alternatif yang disukai publik ini bisa terakomodasi ke tampuk kekuasaan tertinggi.
Jika demikian, wakil rakyat kini tinggal memilih memperjuangkan agenda reformasi bangsa atau agenda politik jangka pendek parpol. (Toto Suryaningtyas/Palupi P Astuti/LITBANG KOMPAS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.