Ketidakpercayaan ini juga diimbuhi keengganan yang luar biasa karena pilkada langsung akan mengusik hegemoni elite lama. Pilkada dan juga pilpres telah membuka pintu bagi hadirnya orang-orang baru yang bukan berasal dari kalangan elite. Penolakan ini memang tak terucap secara eksplisit. Namun, dalam perbincangan informal, letupan-letupan pernyataan yang mewakili sikap ini mungkin sudah sering kita dengar. Ungkapan, ”Masak muka begitu jadi presiden” atau ”Dia itu siapa?” merepresentasikan sikap ini.
Logika parpol pengusung
Kesadaran elite yang terusik membangkitkan harga diri dan memori masa lalu di mana ”politik” sudah semestinya menjadi urusan para elite. Kalah-menang dalam pertarungan politik dianggap tak lebih sebagai pertandingan tenis. Sebab, pemenang atau yang kalah berasal dari kaum yang sama dan karena itu diasumsikan semua urusan lainnya, terutama bisnis, tetap bisa berjalan business as usual.
Dari enam parpol pendukung kembali gagasan pilkada tidak langsung, tiga di antaranya bisa dipahami. Golkar dan PPP yang lama tumbuh di era Orde Baru adalah turunan dari sistem yang memelihara hegemoni politik melalui MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah). Gerindra, sebagaimana disebut Prabowo, tak lain merupakan partai yang memang lahir dari rahim Golkar. Yang sulit dipahami justru sikap PAN, Partai Demokrat, dan PKS.
PAN menahbiskan dirinya sebagai partai reformis. Sebagai partai reformis, PAN ingin mengubah politik jadi ruang terbuka dan demokratis sebagai antitesis demokrasi seolah-olah di era Orde Baru. Kengototan mengusung gagasan pilkada tidak langsung jelas menimbulkan pertanyaan. Jika dikaitkan dengan konteks Koalisi Merah Putih, jadi pertanyaan besar apakah mungkin PAN memang hendak jadi pihak yang berperan dalam memundurkan partisipasi politik rakyat atau mereka tengah tersandera perjanjian dengan Prabowo?
Demokrat (dalam hal ini SBY) sudah merasakan betul manfaat pemilu langsung. SBY mampu memenangi Pilpres 2004 setelah harus menerima kenyataan tersingkir dalam ”kontestasi elite” memperebutkan posisi wakil presiden ketika Megawati Soekarnoputri jadi presiden menggantikan Gus Dur pada 2001. Bahwa kemudian calon-calon Demokrat kerap gagal dalam pilkada dalam lima tahun terakhir, mestinya justru jadi evaluasi internal. Terutama menyangkut pilihan-pilihan kandidat yang mereka sorongkan dan bukannya justru mengebiri partisipasi politik rakyat. Lagi pula, ini akan menjadi ”tinta merah” ketika publik mengenang SBY dalam lintasan sejarah republik ini.
PKS adalah partai yang sebelumnya ikut mendukung pilkada langsung, tetapi akhirnya ikut mengubah pilihan menjadi serupa dengan sikap Koalisi Merah Putih. Sebuah langkah mengejutkan mengingat PKS, selain lahir sebagai partai Orde Reformasi, juga partai yang dianggap berhasil membangun sistem saksi dalam pilkada langsung. Orang lalu bisa bertanya, apakah ada kaitan antara dukungan terhadap sistem pilkada zaman Orde Baru dan ide menjadikan Soeharto sebagai pahlawan?
Karena itu, pilihan Koalisi Merah Putih yang bersikeras mengusung pilkada untuk dikembalikan ke DPRD dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan kaum elite. Itulah contoh momen perjuangan untuk mengembalikan ”daulat elite” dan sekaligus mengakhiri ”daulat rakyat”. Jika pilkada bisa dikembalikan menjadi tidak langsung, target selanjutnya bukan tak mungkin mengubah kembali pilpres menjadi pemilihan di tingkat MPR.
Apakah Indonesia akan mengalami kemunduran berdemokrasi secara sistematis? Terlalu dini menjawabnya. Yang sudah pasti, publik harus diingatkan dan digugah kembali untuk menyatakan sikapnya. Para elite politik memerlukan sebuah penolakan yang tegas. Ketika mereka membaca rakyat mudah diakali, pilkada tak langsung akan menjadi kenyataan politik Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.
Yunarto Wijaya
Direktur Riset Charta Politika