Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada dan Daulat Elite

Kompas.com - 11/09/2014, 15:26 WIB


Oleh: Yunarto Wijaya

KOMPAS.com - Argumentasi yang mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD (pilkada tidak langsung) terbantahkan.

Jika dirangkum, pendapat akademisi dan pegiat demokrasi pada intinya menyatakan, pertama, praktik politik uang masih akan berlangsung; penerimanya saja yang berbeda. Kedua, kekhawatiran meluasnya konflik sosial tidak didukung fakta-fakta lapangan yang kuat, hanya sebagian kecil pilkada yang berujung amuk massa; di beberapa pilkada memang ada terasa ketegangan antarkelompok masyarakat, tetapi langsung tak berbekas begitu pilkada usai. Ketiga, kerisauan mengenai biaya politik bisa disiasati dengan berbagai aturan, salah satunya mengenai pembatasan dana kampanye.

Sebaliknya, argumentasi yang mendukung keberlanjutan gagasan pilkada langsung tidak tersanggah dengan baik. Yang paling pokok, tentu saja, apa dasar filosofis yang mengesahkan partisipasi rakyat harus dikebiri, terutama dikaitkan dengan proses pendewasaan demokrasi di Tanah Air. Terlebih temuan sejumlah lembaga survei telah menegaskan sikap rakyat yang lebih mendukung pelaksanaan pilkada langsung. Jika para elite politik mendaku sebagai penyuara suara rakyat, bagaimana mereka bisa menjelaskan tindakan yang justru mengabaikan kehendak rakyat?

Manfaat pilkada langsung

Terlepas dari berbagai kekurangannya, pilkada langsung telah menghadirkan sosok-sosok pemimpin baru. Figur-figur seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Nurdin Abdullah, dan belakangan juga Bima Arya—untuk menyebut beberapa nama—mampu membangkitkan harapan rakyat dan memberikan warna baru dalam proses pembangunan di wilayahnya masing-masing. Sosok-sosok ini nyaris mustahil tampil menjadi pemimpin publik jika pilkada dilakukan secara tak langsung alias melalui DPRD.

Di beberapa daerah, pilkada langsung memang jadi pintu masuk berkecambahnya politik dinasti. Fenomena ini untuk sebagian kasus bisa dipahami ketika mempertimbangkan faktor figur dan konteks sosiologis masyarakatnya. Namun, secara umum, politik dinasti menerbitkan kekhawatiran, terutama mengenai kemajuan pembangunan di daerah tersebut. Akan tetapi, melalui pilkada tidak langsung yang bakal terjadi akan jauh lebih destruktif: politik kronisme yang bersinergi dengan kebutuhan para cukong. Pilkada tak langsung memudahkan dan meminimalkan biaya cukong untuk memenangkan calon-calon kepala daerah yang bersedia menghamba pada kepentingan bisnisnya.

Proses belajar berdemokrasi langsung selama sembilan tahun terakhir telah makin mendewasakan proses berdemokrasi. Hiruk-pikuk pilkada tak lagi terlalu memengaruhi aktivitas rutin ekonomi, budaya, dan sosial masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah menganggap pilkada sebagai aktivitas biasa. Ini harus dibaca sebagai semakin memudarnya mitos pemilu (baca: pilkada) sebagai kejadian luar biasa dan memerlukan kewaspadaan serta atensi yang tinggi dengan segala bumbu proses pengamanannya, sebagaimana dikonstruksi Orde Baru.

Sebagai pemilih, rakyat telah kian merasakan manfaat praktis pilkada. Sebagaimana disebut Powell (2000), pemilih melakukan evaluasi atas kinerja petahana. Ketakpuasan (mungkin juga ketaksukaan) terhadap petahana ditunjukkan dengan cara memilih penantang meski memahami penantang dimaksud belum teruji kompetensinya sesuai tantangan pembangunan di daerahnya. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub Jakarta 2012 sebagian bisa dijelaskan menurut pendekatan ini.

Namun, dalam banyak pilkada lain, rakyat menunjukkan fenomena "choosing a good type" (Fearon, 1999). Rakyat melakukan interaksi antara menyeleksi kinerja dan juga mempertimbangkan integritas dan lebih selaras dengan preferensi publik. Dengan kata lain, sebagai pemilih, rakyat menyadari sulitnya menemukan "superhero" atau sang ”satrio piningit”. Fenomena ini sebagian bisa menjelaskan kemenangan petahana yang kinerjanya sempat diragukan, sebagaimana dalam kasus kemenangan Aher-Deddy di Pilgub Jabar 2013 misalnya.

Bangkitkan kesadaran elite?

Pilkada langsung juga memberikan peluang bagi partai politik untuk mengasah keterampilan dan melakukan konsolidasi internal hingga tingkat akar rumput. Momen pilkada jadi momen antara di antara dua pemilu legislatif (dan presiden). Hanya saja sebagian besar parpol masih memanfaatkannya secara formal-legalistik melalui proses musyawarah/rapat kerja yang melibatkan pengurus tingkat bawah dalam menentukan calon kepala daerah yang mau diusung. Sejauh pengamatan, baru PKS-lah yang memanfaatkan momen pemilu (pilkada) untuk memperkuat jejaring kerja kadernya ke konstituen.

Dengan berbagai penjelasan di atas, cukup beralasan  jika perubahan sikap sejumlah parpol yang tiba-tiba kembali mengusung gagasan pilkada tak langsung menimbulkan spekulasi. Media massa mengasosiasikan parpol-parpol pengusung gagasan pilkada tak langsung ini dengan Koalisi Merah Putih.  Karena itu, upaya mewujudkan pilkada tak langsung pun dimaknai sebagai salah satu ”medan pertempuran” dalam konteks melanjutkan kontestasi Pilpres 2014 secara permanen lima tahun ke depan. Ini senapas dengan gagasan pembentukan pansus pilpres.

Terlepas dari spekulasi di atas, adakah pendorong lain yang membuat elite-elite parpol dari Koalisi Merah Putih merasa penting untuk mengembalikan pilkada secara tidak langsung, yang notabene menjadi momen mementahkan proses pendewasaan berdemokrasi di Tanah Air?

Meski tak terkatakan secara eksplisit, ada kesan kuat pokok gagasan menolak pilkada langsung merupakan upaya memelihara kesinambungan perkauman para elite lama. Elite lama dicirikan dari sikap ketakpercayaan terhadap kompetensi rakyat. Ketidakpercayaan ini bersumber dari pendapat bahwa rakyat adalah kumpulan orang yang tidak mengerti, tidak memiliki pengetahuan, mudah dipengaruhi, dimanipulasi, mudah dibujuk/disuap, tak punya visi, dan seterusnya. Intinya, rakyat seakan dianggap sebagai kumpulan orang ”bodoh” yang butuh arahan dan pencerahan dari elite. Bagi mereka, rakyat adalah kumpulan domba yang perlu dituntun dan bukannya yang memimpin. Cara berpikir ini sebangun dengan pernyataan Prabowo yang sempat berkata, ”singa tidak mungkin dipimpin oleh kambing”.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Nasional
5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Nasional
Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin 'Gemoy'

PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin "Gemoy"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com