JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan membentuk dewan etik untuk memeriksa anggota Kompolnas, Adrianus Meliala, terkait pernyataan dia yang menyebut reserse kriminal (reskrim) menjadi "ATM" bagi pimpinan Polri. Dewan etik tersebut nantinya akan memutuskan akapah pernyataan Adrianus tersebut bertentangan dengan etika atau tidak.
"Kita minta dewan etik apakah pernyataan prof Adrianus menyalahi secara etika (atau tidak)," ujar Sekretaris Kompolnas, Syafriadi Cut Ali, saat menggelar jumpa pers di Kantor Kompolnas, Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Senin (1/9/2014).
Syafriadi mengatakan, secara hukum pernyataan Adrianus memang dikategorikan bertentangan dengan hukum, namun, Kompolnas merasa apa yang dilakukan terkait pengawasan terhadap kinerja Polri tidak memiliki masalah. Untuk itu, kata dia, dewan etik harus segera memutuskan apakah pernyataan Adrianus tersebut menyalahi etika atau tidak.
"Kita berharap dewan etik ini bisa segera mengambil langkah sidang dalam waktu yang secepatnya, agar kami dapat kepastian, apakah tindakan yang kami lakukan selama ini, secara etik tidak bertentangan," ucap Syafriadi.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas, M. Nasser mengatakan, dewan etik ini beranggotakan 5 orang. Dua orang merupakan anggota dari dalam internal Kompolnas, sementara tiga orang lainnya berasal dari luar Kompolnas. Tiga orang dari luar Kompolnas tersebut yakni, Hakim Agung Gayus Lumbuun, Irjen Pol Purn Faruq Muhammad, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif.
Sebelumnya, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Adrianus Meliala, menyampaikan permohonan maaf kepada Kapolri Jenderal Sutarman terkait ucapannya bahwa reserse kriminal (reskrim) menjadi "ATM" bagi pimpinan Polri. Permohonan maaf tersebut disampaikan melalui surat tertulis.
"Perlu dinyatakan secara tertulis dengan meminta maaf kepada Kapolri," ujar Adrianus, saat menggelar jumpa pers di Kantor Kompolnas, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (1/9/2014).
Adrianus mengatakan, selain pernyataan maaf terhadap Polri, surat tertulis tersebut dibuat sebagai upaya agar Polri segera menghentikan pengusutan kasus tersebut. "Berharap ada respons positif dari Polri," ujar Adrianus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.