Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pagi Tak Akan Lagi Sama, Obituari Taufik Mihardja...

Kompas.com - 28/08/2014, 10:57 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com — Rabu (27/8/2014) pagi, aktivitas di redaksi Kompas.com mulai menggeliat. Para editor bertukar pesan dengan "pasukannya", memastikan agenda dan topik liputan. Sebuah rutinitas pagi kembali dimulai.

Basket berita pun sudah kosong dengan satu-dua berita baru mulai berdatangan. Pagi yang landai, dalam istilah kami. Tak ada peristiwa besar yang segera butuh tindak lanjut maupun sedang bergulir.

Rabu pagi itu berjalan lambat dan tenang. Namun, itu hanya sampai pukul 06.04 WIB.

"Mas Vik meninggal," bunyi pesan yang menjungkirbalikkan situasi pagi itu, ringkas. "Informasi dari mas BDM barusan," lanjut pesan dari Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com, Heru Margianto, tersebut.

Mas Vik yang disebut Heru dalam pesannya adalah Pemimpin Redaksi Kompas.com, Taufik Hidayat Mihardja. Adapun BDM adalah inisial untuk Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Budiman Tanuredjo.

Sontak, pagi yang landai pun menjadi hiruk pikuk. Duka berbaur dengan beragam komunikasi untuk memastikan kabar tersebut, alamat rumah, rencana pemakaman, dan detail yang menyertainya. Duka dan hiruk pikuk itu pun bukan cuma Kompas.com yang merasakan.

Gelombang kejut

Begitu berita pertama mengabarkan meninggalnya Mas Vik, nama sapaan di Grup Kompas Gramedia untuk Taufik, notifikasi layanan pesan dan panggilan telepon pun tak henti berbunyi. Lagi-lagi, seperti perulangan, layanan pesan dan panggilan telepon itu berisi tanya soal kepastian kabar, alamat, dan detail-detail yang menyertainya.

Tak lewat dari dua jam, sebagian besar orang-orang yang bertukar pesan dan panggilan telepon itu telah terkonsentrasi di satu lokasi, kediaman Taufik. Dalam keterkejutan, para penggawa dari tiga platform media berlabel "Kompas", yakni harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV, berbaur bersama para kolega dan kerabat Taufik di sana.

Lahir pada 9 Maret 1962, Taufik memulai karier sebagai wartawan pada era '80-an. Sebelum bergabung dengan harian Kompas, Taufik lebih dulu berkiprah di Kantor Berita Antara. Sejumlah kenangan, kesan, dan teladan pun bermunculan menjadi serangkaian cerita berbalut duka, sepanjang pagi hingga petang pada Rabu ini.

Mereka mengenang Taufik

Bagi Edi Taslim, Direktur Group of Digital Kompas Gramedia, Taufik adalah kolega yang lugas, jujur, sangat logis, sekaligus tegas. "Bahkan kelugasan dan keterusterangannya kadang-kadang sampai (terkesan) lugu," kata pemimpin grup yang memayungi Kompas.com ini.

Edi bercerita, suatu kali dia dan Taufik menerima salah satu rekan bisnis. Setelah berbincang selama setengah jam, kata dia, Taufik tiba-tiba bertanya tanpa sungkan, "Ini sebenarnya dari tadi kita ngomongin apa?" ujar dia.

Adapun menurut Budiman, teman satu "angkatan" Taufik di harian Kompas, Taufik adalah wartawan paripurna. "(Taufik) adalah orang yang pernah berada di segala platform. Paripurna memahami jurnalisme," sebut dia, di rumah duka.

Bagi Adhi KSP, Taufik juga adalah pemimpin yang bisa mengenali dengan baik potensi anak buahnya. "Suatu kali saya dipindah ke desk Properti. Ternyata itu dia yang memutuskan. Terbukti juga di sana saya enjoy, bahkan sampai bisa menulis buku."

Adapun Nasru Alam Aziz mengenang Taufik sebagai sosok yang tak pelit memberikan senyum untuk siapa pun. "Di mana pun ketemu, dia akan tersenyum. Segala zaman, sejak masih sesama reporter maupun sesudah jadi pemimpin. Tidak emosional juga," kenang dia.

Bagi Alam, Taufik juga pemimpin yang tak suka menunda-nunda penyelesaian masalah terkait pekerjaan dan anak buahnya. "Kalau ada persoalan di bawah, langsung diselesaikan," ujar dia.

Adapun Jodhi Yudono menyebut Taufik menjadi sosok yang semakin baik pada tahun-tahun terakhirnya. "Dia menjadi manusia sangat baik. Dulu sempat terlihat tegang. Belakangan lebih rileks."

Gigih, berdaya tembus, tapi "asyik"

Kolega jatuh bangun Taufik saat berada di desk Politik, Hukum, dan HAM di harian Kompas, Myrna Ratna M, mengatakan, Taufik adalah salah satu figur wartawan paling gigih yang pernah dia kenal.

Taufik, kata Myrna, adalah wartawan Kompas yang bisa mewawancarai Aung San Suu Kyi, saat tokoh demokrasi Myanmar itu sedang ketat-ketatnya menjalani tahanan rumah. Taufik juga, ujar dia, adalah wartawan Kompas yang mewawancarai mendiang Kelly Kwalik, salah satu tokoh Organisasi Papua Merdeka.

KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kiri) didampingi oleh Pemimpin Redaksi Kompas.com Taufik Hidayat Mihardja dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo (kanan) saat berkunjung ke Kompas.com, Palmerah, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
"Pulang dari wawancara di Papua itu, baru ketahuan kalau dia punya sakit jantung juga," lanjut Myrna dengan sedikit menerawang, dalam perjalanan menuju lokasi pemakaman Taufik. Dalam kenangan Myrna, Taufik adalah "orang asyik", bisa saling ledek, sekalipun sangat intens ketika sedang menggarap sesuatu.

Penilaian senada dilontarkan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Trias Kuncahyono, yang menjadi Redaktur Pelaksana Harian Kompas saat Taufik menjadi Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas.

"Pekerja keras, pekerja dan kawan yang baik, ringan tangan membantu, tapi begitu semua pekerjaan selesai bisa segera rileks," tutur Trias. Soal kemampuan liputan, imbuh dia, Taufik merupakan salah satu wartawan dengan kemampuan daya tembus yang patut diacungi jempol.

"Sempat dikejar-kejar intelijen Israel, masuk Papua dengan jaringan yang dia punya. Berani ambil risiko," sebut Trias. "Dia punya nyali."

Pieter P Giero, wartawan yang mengenal Taufik sejak sama-sama belum bergabung ke harian Kompas, menambahkan tentang hobi menyanyi Taufik. "Kalau sedang liputan dan mengejar deadline, tak bisa diganggu gugat. Begitu selesai, dia sering karaoke bersama teman-teman, termasuk saat meliput di luar negeri."

Menyanyikan lagu-lagu Barat lawas, menurut teman-teman lawasnya ini, Taufik punya suara yang enak didengar. "Tidak ada lagu khusus, tapi macam 'My Way', 'Green Green Grass of Home', dan 'Country Road', sering dia nyanyikan," sebut Giero yang saling mencocokkan kenangan dengan Trias.

Adapun bagi Plt Pemimpin Redaksi Kompas TV, Yogi Arief Nugraha, Taufik adalah figur yang sangat pas memimpin perusahaannya pada masa awal pendirian. "Bangun fondasi, menularkan tradisi Kompas kepada teman-teman yang berasal dari beragam media."

Yogi menyebut Taufik sebagai sosok visioner, sanggup beradaptasi dengan multiplatform, sekaligus bisa menyadari bahwa dia tak tahu dunia pertelevisian. "Humble, mengayomi, dan tak malu bertanya ketika memang tidak tahu soal istilah teknis broadcast."

Sebagai contoh, kata Yogi, Taufik benar-benar tanpa canggung bertanya arti "estetika layar" di tengah rapat bersama kru redaksinya. "Begitu paham, dia masih selalu mengulang istilah itu untuk mengingatkan, sekaligus menyinggung dari siapa dia tahu maksud kalimat itu."

Firasat dan Cikalong

Taufik meninggal pada Rabu pagi, tak lagi bangun ketika dibangunkan istrinya untuk shalat subuh, di kediaman mereka, Perumahan Permata Mediterania, Cluster Amatis 1 No 1, Jakarta Barat.

Sesudah dimandikan, dikafani, dan dishalatkan di Jakarta, Taufik dibawa ke Cikalong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Istri Taufik, Diana, mengatakan, almarhum suaminya pasti sependapat soal pilihan lokasi pemakaman itu.

Kompas.com/Palupi Annisa Auliani Adik kandung almarhum Taufik H Mihardja, Tevi Losiyana. Gambar diambil pada Rabu (27/8/2014)
Kampung Sinarsari di Cikalong Wetan, Cikalong, adalah tempat Taufik lahir dan dibesarkan. "Dia memang suka di sana. Selama ini juga dua pekan sekali ke sana," ujar Diana.

Adalah dari Tevi Losiyana, adik kandung Taufik, cerita soal firasat bakal berpulangnya Taufik ini Kompas.com dapatkan. Tak semua orang tahu, kata dia, bahwa Taufik tak hanya punya penyakit jantung, tetapi juga kedua ginjalnya telah rusak yang mengharuskannya cuci darah dua kali dalam sepekan.

"Setelah tak lagi di TV, dia sekarang sering pulang," ujar Tevi mengawali ceritanya soal firasat itu. Minggu (24/8/2014), sebut dia, Taufik masih menghabiskan akhir pekan di kampung halamannya itu.

"Belum lama, dia bilang ke Bapak, mau dimakamkan di dekat mamah," kata Tevi tentang firasat dan keinginan Taufik itu. Lalu, setelah Lebaran yang baru saja lewat, Taufik meminta diantar ke rumah-rumah gurunya semasa SD dan SMP.

"Sudah ada feeling, sepertinya. Ketemu guru-gurunya dia minta maaf, bahkan dia memaksa diantar ke rumah gurunya yang jauh," tutur Tevi sembari sesekali tak bisa menahan guliran air mata dari matanya yang sudah sembab.

Tevi pun bertutur sudah berulang kali dia menawarkan donor ginjal untuk Taufik, tetapi selalu saja ditepis dengan beragam alasan. Apalagi, ujar dia, belakangan dokter sudah mengizinkan Taufik kembali menikmati beragam makanan.

"Ibaratnya, sekarang itu justru sedang tenang-tenangnya," ujar Tevi, berseling isakan samar. Itu pun, imbuh dia, Taufik masih bisa bercanda soal sakitnya. "Habis dicuci pakai Rinso (merek sabun cuci) darahnya."

Ketegaran Taufik menjalani hari-hari sakit bertahun-tahun barangkali juga adalah turunan dari sang ayah, Daud. Taufik adalah anak sulung Daud, dari tiga bersaudara. Ketika jasad Taufik dikebumikan tepat di seberang rumah keluarga ini, berjeda masjid saja, Daud pun dalam kondisi tak sehat.

"Tapi Bapak tegar sekali, dari semuanya," kata Tevi, lagi-lagi diselingi isak samar. Bapaknya yang sudah sepuh itu sekarang harus mendapat bantuan tabung oksigen untuk meringankan sakitnya.

Pagi tak akan sama lagi

Bagi Kompas.com, keluarga besar Grup Kompas Gramedia, terlebih untuk keluarga besar Daud, pagi sesudah Rabu ini tak akan lagi sama. Tak akan ada lagi suara sapaan ringan ditingkahi senyum yang juga tersorot dari mata lelaki beruban tersebut.

Pagi dengan laju pemberitaan yang landai maupun hiruk pikuk tak akan lagi diinterupsi pesan-pesan ringkas dan tegas lewat grup editor maupun kedatangan sosok lelaki itu di meja para editor. Pagi tak akan lagi sama, Mas Vik, apalagi pada siang dan malam-malam penuh breaking news dan live report sebuah peristiwa.

Namun, CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo menyiapkan sebuah pesan bagi siapa saja yang menjadikan Taufik sebagai figur untuk dikenang dengan kenangan baik. "Kemarin, mereka. Hari ini, kami. Besok, kita semua," ujar Agung saat melepas jenazah di kediaman Taufik, soal bahasa kematian.

"Jasad boleh pergi, tetapi legacy tak akan pernah hilang," lanjut Agung. "Legacy tak akan pernah kita lupakan dan tak hilang dari ingatan. Dari Mas Taufik, (legacy) itu adalah (beliau merupakan) satu-satunya pemimpin yang lengkap, yang pernah pernah di cetak, televisi, dan online," sebut dia.

Agung menambahkan, dengan semua perjalanan hidupnya, Taufik juga bukan tipe pemimpin "asal perintah". "Saya kira itu legacy dia yang bisa jadi pelajaran sekaligus kenangan tentang Mas Taufik," ujar Agung. "Pelajaran yang tak akan pernah kita lupakan." Bersama kenangan atas senyumnya, pada pagi yang tak tak akan sama lagi. Selamat jalan, Mas Taufik....

(ANN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

MK Minta Sirekap Dikembangkan Lembaga Mandiri, KPU Singgung Kemandirian Penyelenggara Pemilu

Nasional
Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Pelajaran Berharga Polemik Politisasi Bansos dari Sidang MK

Nasional
Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Nasional
Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | 'Dissenting Opinion' Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | "Dissenting Opinion" Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

Nasional
Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com