Dunia pendidikan yang biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi transformasi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan mengalami proses pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.
Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan melakukan gerakan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemaian dan pembudayaan dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan mental-karakter yang sehat dan kuat.
Untuk itu, perlu ada reorientasi dalam dunia pendidikan dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai ”perwujudan khusus” ("diferensiasi") dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasan masing-masing. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar.
Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki kepercayaan diri, daya tahan, daya emban, dan daya saing dalam perjuangan hidup, dengan tetap memiliki sensitivitasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, benar, dan indah. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. "Karakter" dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian moral.
Sementara ke luar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang jadi lebih baik atau lebih buruk.
Karakter kolektif
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter kolektif. Setiap bangsa, seperti ditengarai oleh Otto Bauer, mestinya memperlihatkan suatu ”persamaan (persatuan) karakter”, yang terbentuk karena persatuan pengalaman. Dalam konteks Indonesia, sistem nilai kebudayaan sebagai pembentuk karakter kolektif itu bernama Pancasila.
Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan budaya (karakter kolektif). Adapun pendidikan sebagai proses belajar memanusia berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan karakter personal dan kebudayaan yang baik, benar, dan indah, sebagai wahana pembentukan bangsa beradab. Itulah landasan gagasan nation and character building.
Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara simsalabim. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentransformasikan mentalitas-karakter bangsa menuju kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Betapapun hal itu merupakan proyek raksasa yang mahaberat, tetapi kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa atasi segala rintangan. Bung Karno mengingatkan, ”Dan kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita harus jantan! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan napas, dan berani terjun menyelami samudra yang sedalam-dalamnya."
Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan