Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjalankan Revolusi Mental

Kompas.com - 21/08/2014, 18:00 WIB
KOMPAS.com- Apakah gerangan revolusi itu? Inilah istilah yang sering disebut untuk sering disalahpahami. Dalam pemahaman umum selama ini, revolusi sering dimaknai sebagai perubahan cepat dalam ranah sosial-politik dengan konotasi kekerasan radikal menyertainya.

Jarang orang yang menyadari bahwa sebelum digunakan dalam wacana dan gerakan sosial-politik, istilah revolusi sesungguhnya lebih dahulu muncul sebagai istilah teknis dalam sains.

Secara denotatif, revolusi berarti "kembali lagi" atau "berulang kembali"; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Maka, dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu ketetapan (konstanta) dalam perubahan; pengulangan secara terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Pengertian seperti inilah yang terkandung dalam frase ”revolusi planet dalam orbit”.

Pada tahun 1543, Nicolaus Copernicus memublikasikan De Revolutionibus Orbium Coelestium, yang sering dinisbatkan sebagai penanda revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam semesta dari geosentrisme (berpusat di Bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di Matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini lalu dikenal sebagai revolusi Copernican.

Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian sebelumnya menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity), melainkan justru sebagai keterputusan dalam kesinambungan (break in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).

Mengandung kebaruan

Pengertian revolusi seperti itulah yang kemudian diadopsi oleh wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih setelah Revolusi Perancis (1789). Seperti halnya revolusi dalam sains, pengertian revolusi dalam politik pun pada mulanya mengandung konotasi yang ramah, hingga Revolusi Perancis berubah jadi ekstrem dalam bentuk teror yang menakutkan. Konotasi menakutkan dari istilah revolusi tersebut menguat menyusul publikasi The Communist Manifesto pertengahan abad ke-19, revolusi 1848, dan gerakan komunis internasional dengan agenda revolusi berskala dunia yang mengandung ekspresi kekerasan terkait dengan perubahan cepat.

Bagaimanapun, kekerasan dan perubahan cepat bukanlah elemen esensial dari suatu revolusi. Revolusi tidak mesti dengan jalan kekerasan. Pada 1986, Peter L Berger memublikasikan buku The Capitalist Revolution yang menunjukkan suatu bentuk revolusi nirkekerasan. Revolusi pun bisa ditempuh secara cepat atau lambat. Revolusi industri di Eropa ditempuh dalam puluhan, bahkan ratusan tahun. Yang esensial dalam suatu revolusi adalah ”kebaruan”. Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa ”Konsep modern tentang revolusi terkait dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau diceritakan sebelumnya”. Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan dunia lama jadi dunia baru.

Alhasil, revolusi sejati yang berdampak besar dalam transformasi kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental dan keyakinan. Dengan kata lain, revolusi sejati meniscayakan perubahan mentalitas (pola pikir dan sikap kejiwaan) yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan. Urgensi revolusi mental seperti ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Al Quran (QS 13: 11): "Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka."

Kenyataannya, keberhasilan revolusi fisik merebut kemerdekaan Indonesia serta jatuh bangunnya pemerintahan setelah kolonial tak diikuti perubahan mendasar pada struktur mentalitas bangsa. Pada relung terdalam kejiwaan bangsa ini, masih bercokol mentalitas feodalistis yang mengisap ke bawah, tetapi mudah bermetamorfosis menjadi mentalitas budak di hadapan tuan-tuan agung. Mentalitas budak (inferior) menjadikan bangsa ini mudah mengekor bangsa lain; saat sama sulit menerima kelebihan dan kemenangan sesama bangsanya sendiri.

Dengan struktur mentalitas seperti itu, kemerdekaan dan pembangunan Indonesia tidak diikuti oleh kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan kepribadian dalam kebudayaan. Lemahnya mentalitas kemandirian membuat wajah perekonomian bangsa ini belum kunjung beranjak dari gambaran perekonomian negeri terjajah yang dilukiskan Bung Karno pada 1930-an. Pertama, sumber daya alamnya hanya dijadikan bahan baku murah oleh negara maju. Kedua, negeri kita hanya dijadikan pasar untuk menjual produk-produk hasil industri negara maju tersebut. Ketiga, dijadikan tempat memutarkan kelebihan kapital (modal) oleh negara-negara kapitalis tersebut atau dengan kata lain menjadi tempat investasi asing.

Lemahnya mentalitas kedaulatan membuat politik negeri ini tidak leluasa mengembangkan pilihan sistem dan kebijakan politik sendiri. Ke luar, kewibawaan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional kian memudar. Ke dalam, pilihan-pilihan pembangunan tak lagi ditentukan oleh apa yang disebut Tan Malaka sebagai ”kemauan, pelor, atau bambu runcingnya rakyat Indonesia sendiri”. Tanpa kedaulatan mengembangkan sistem pemerintahan sendiri, demokrasi padat modal membuat pilihan-pilihan politik kerap dimenangi kepentingan korporasi karena aspirasi rakyat tidak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.

Lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa ini tak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau sebaliknya, melakukan kompensasi berlebihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan bangsa lain.

Tanpa kekuatan karakter, kita sulit jadi pemenang dalam era persaingan global. Itu karena, seperti diingatkan Napoleon Bonaparte, "Dalam pertempuran (baca: persaingan), tiga perempat faktor kemenangan ditentukan kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempat lagi oleh keseimbangan antara keterampilan manusia dan sumber daya material."

Investasi mental

Begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Celakanya, perhatian yang berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

3 Cara Isi Saldo JakCard

3 Cara Isi Saldo JakCard

Nasional
Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Nasional
Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan 'Amici Curiae', Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan "Amici Curiae", Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Nasional
MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

Nasional
Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Nasional
Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Nasional
KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

Nasional
KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

Nasional
Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Nasional
Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Nasional
Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Nasional
Semua Korban Kecelakaan di Km 58 Tol Japek Teridentifikasi, Jasa Raharja  Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Semua Korban Kecelakaan di Km 58 Tol Japek Teridentifikasi, Jasa Raharja Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Nasional
Jadi Tersangka, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Diduga Dapat Jatah Potongan Insentif ASN

Jadi Tersangka, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Diduga Dapat Jatah Potongan Insentif ASN

Nasional
Bawaslu Buka Kans Evaluasi Panwas yang Tak Becus Jelang Pilkada

Bawaslu Buka Kans Evaluasi Panwas yang Tak Becus Jelang Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com