Sayangnya, polarisasi dalam pilpres kali ini tak hanya berlangsung pada masa kampanye ataupun saat pencoblosan, tetapi berlanjut hingga pengumuman penetapan pemenang pilpres oleh KPU.
Selama masa kampanye, masyarakat terbelah menjadi dua kubu masing-masing dengan argumen ataupun promosi tentang para kandidat pilihannya.
Saat pencoblosan, polarisasi tidak berhenti. Hal ini terutama dipicu hasil hitung cepat pilpres. Delapan lembaga survei menyatakan Jokowi-JK memenangi pilpres. Sementara empat lembaga survei lainnya menyatakan sebaliknya.
Perbedaan ini membawa konsekuensi politik dan akademik yang cukup serius. Dari aspek akademik penelitian, hasil hitung cepat yang dikeluarkan empat lembaga survei mengakibatkan munculnya keraguan akan validitas data ataupun kredibilitas lembaga.
Dari aspek politik, perbedaan hasil hitung cepat itu juga semakin mempertajam pertentangan di antara dua kubu pendukung. Polarisasi terus diperkuat dengan klaim kemenangan oleh kedua kubu.
Berbeda dengan gegap gempita klaim kemenangan kedua kubu capres, masyarakat di akar rumput justru mengkhawatirkan munculnya gesekan antarkelompok. Kekhawatiran itu disuarakan tiga dari 10 responden jajak pendapat.
Kekhawatiran terbesar yang disuarakan responden adalah akan terjadinya kerusuhan dan kekacauan jelang pengumuman resmi hasil rekapitulasi suara nasional oleh KPU. Meskipun kekhawatiran itu tidak terbukti, keinginan masyarakat untuk rekonsiliasi sangat diharapkan.
Rekonsiliasi elite buruk
Seusai pengumuman hasil penghitungan suara oleh KPU, hingga saat ini, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK belum pernah bertemu dan berbicara. Keputusan Prabowo Subianto membentuk tim Perjuangan Merah Putih untuk Kebenaran dan Keadilan dan mengajukan gugatan hukum ke MK dipandang oleh publik sebagai salah satu kendala dilakukannya rekonsiliasi.
Dua dari sepuluh responden menyatakan, rekonsiliasi di tingkat elite politik masih buruk. Hanya 15 persen responden yang menyatakan sebaliknya.
Terkait dengan langkah Prabowo mengajukan gugatan ke MK, hanya dua dari 10 responden yang sependapat dengan langkah tersebut dan hanya segelintir (3 persen) responden yang setuju dengan langkah Prabowo sebelumnya yang menarik diri dari proses pilpres.
Lebih dari separuh responden justru berharap kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebaiknya menerima hasil pemilihan presiden yang telah diumumkan KPU.
Betapapun langkah yang dilakukan pasangan capres-cawapres nomor urut 1 ini dapat dibenarkan secara konstitusi, upaya tersebut justru semakin menguatkan kesan di publik bahwa salah satu kandidat hanya siap menang, tetapi tidak siap kalah.
Sebanyak 24 persen responden menilai proses rekonsiliasi antara calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK lebih buruk dan hanya 19 persen yang menyatakan lebih baik.
Sebenarnya, ajakan rekonsiliasi telah diupayakan Presiden Yudhoyono dengan mengundang keduanya ke Istana Negara sebelum penetapan pemenang pilpres oleh KPU. Untuk upaya ini, hampir seluruh responden memberikan apresiasinya.
Selain itu, publik juga melihat bahwa kubu pemenang pilpres telah ikut berupaya mewujudkan rekonsiliasi. Pidato pertama Jokowi setelah dinyatakan sebagai presiden terpilih oleh KPU dinilai oleh publik sebagai bentuk pendidikan politik yang penting.
Bagaimanapun, proses rekonsiliasi tidak mungkin hanya dilakukan sepihak. Kesediaan kedua pihak untuk menerima hasil Pilpres 2014 yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang bersifat final dan mengikat nanti oleh MK akan membuktikan sikap demokratis yang sesungguhnya, yang bukan slogan belaka. (Antonius Purwanto/Litbang Kompas)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.