"Pihak yang paling berwenang untuk membuka dokumen ini adalah SBY. Sebab dia pernah di DKP, dan saat ini dia adalah panglima tertinggi TNI," ujar Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, dalam jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2014).
Ia mengatakan, bungkamnya SBY atas isi surat tersebut dapat meninggalkan "warisan" yang akan tetap dituntut masyarakat pada masa mendatang. Menurut Hendardi, hanya ada dua pilihan bagi SBY, yaitu mengklarifikasinya atau membiarkan masyarakat terus menuntut dia.
Hendardi menilai, jika SBY tidak juga menjelaskan kebenaran isi surat itu, patut dicurigai bahwa yang bersangkutan mengambil keuntungan politik dari penyembunyian fakta itu. Keuntungan itu, kata dia, diperoleh SBY jika Prabowo terpilih menjadi presiden.
"Patut diduga SBY berpolitik, mendapatkan benefit politik seandainya Prabowo jadi presiden," katanya.
Sebelumnya, surat yang disebut sebagai keputusan DKP itu beredar di media sosial. Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998. Di empat lembar surat itu tertulis mengenai pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI. Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara.
"Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan," demikian isi surat tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.