"Pemerintah pusat terkesan hanya duduk di belakang meja, tidak memahami kondisi perbatasan. Mungkin jika warga kita di sana lebih memilih Malaysia sebagai negara mereka, barulah pemerintah sadar akan minimnya perhatian pemerintah," ujarnya.
Terkait dengan itu, dia mengharapkan agar pihak terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri Luar Negeri, Pekerjaan Umum, dan Disperindagkop untuk turun ke lapangan melihat potensi sumber daya alam di sana.
Hal ini perlu dilakukan karena jangan sampai negara tetangga yang memberikan perhatian lebih sehingga akhirnya negeri lain yang menuai keuntungan dari potensi yang sebenarnya bisa dikelola oleh negeri sendiri.
Guna mengatasi berbagai permasalahan tersebut, lanjut Djalil, saat ini DPRD Kaltim sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Perlindungan di Kawasan Perbatasan.
Kawasan perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara meliputi tiga kabupaten, yakni Kutai Barat di bagian selatan, kemudian Malinau dan Nunukan di bagian utara. Dari tiga kebupaten tersebut, terdapat 13 kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negeri Sabah dan Serawak yang meliputi 249 desa.
Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak adalah Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai di Kabupaten Kutai Barat, Kayan Ulu, Kayan Hilir, Kayan Selatan, Bahau Hulu, dan Pujungan di Kabupaten Malinau, kemudian Krayan, Krayan Selatan, Lumbis, Sebuku, Nunukan, dan Sebatik di Kabupaten Nunukan.
Wilayah perbatasan tersebut merupakan perbatasan daratan, kecuali Kecamatan Nunukan yang mempunyai perbatasan laut dengan Kota Tawau, Sabah, dengan panjang garis perbatasan keseluruhan mencapai 1.038 km.
Korbankan TNKM
Pengamat sosial dan masalah perbatasan Kaltim Prof Sarosa Hamongpranoto dari Universitas Mulawarman, Samarinda, mengatakan bahwa untuk membangun kawasan perbatasan perlu dilakukan semua pendekatan.
Pendekatan tersebut di antaranya menyangkut ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan lingkungan, termasuk kearifan lokal harus ditonjolkan. Hal ini perlu dilakukan agar pengembangan dan percepatan pembangunannya dapat dilakukan dengan cepat dan terstruktur.
Menurut dia, masalah di kawasan perbatasan terkait dengan panjangnya yang mencapai 1.038 km, tetapi tidak seimbang dengan jumlah infrastruktur perhubungan dan upaya untuk meningkatkan taraf hidup warga setempat.
Di Krayan, misalnya, satu-satunya akses untuk menuju kawasan itu harus menggunakan pesawat terbang karena belum ada jalan darat. Bahkan, sungai untuk menghubungkan dari kecamatan terdekat menuju ke Krayan juga tidak ada sehingga kebutuhan ekonomi warga terpaksa harus dari negeri sebelah.
Pernah ada wacana untuk membangun jalan tembus ke Krayan, tetapi hal itu urung dikerjakan karena harus melalui hutan lindung di Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Akibatnya, jalan tembus tidak jadi dibangun.
Untuk mengembangkan perbatasan, maka semua pendekatan harus dilakukan, termasuk pendekatan lingkungan yang harus melalui TNKM karena manfaatnya sangat besar demi perekonomian masyarakat setempat.
"Kalau demi kemakmuran masyarakat, apa salahnya mengorbankan beberapa kilometer saja untuk memotong TNKM. Perbatasan adalah serambi negara, maka negara melalui Menteri Kehutanan harus memberikan izin untuk pembangunan jalan hingga ke Krayan," kata Sarosa.