KPU memulai transparansi dengan membangun Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) terbesar di dunia. Tak ada negara lain yang mengumpulkan data pemilih hingga ratusan juta pemilih dalam satu sistem basis data yang terkonsolidasi.
KPU bahkan menawarkan basis data daftar pemilih tetap (DPT) ini bisa dimanfaatkan siapa pun, termasuk partai politik (parpol) jika ingin menggunakannya untuk kepentingan perekrutan politik. Semua orang bisa mengecek daftar pemilih hingga level tempat pemungutan suara (TPS) di http://data.kpu.go.id/dpt.php.
Di tengah kepercayaan diri KPU, tetap tebersit kekhawatiran. Kekhawatiran itu mulai dari potensi jual-beli suara di tingkat bawah hingga integritas penyelenggara pemilu di level bawah.
Jual-beli suara tak hanya terjadi antarcalon anggota legislatif (caleg) dengan pemilih, tetapi juga terjadi antarcaleg di daerah pemilihan yang sama. Caleg tak selamanya mencuri suara dari partai lain, mereka juga bisa membeli ke caleg separtai yang sekiranya tak punya harapan menang. Di sinilah, kredibilitas dan integritas petugas penyelenggara pemilu di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan akan diuji.
Pada Pemilu 2009, sebanyak 35 persen suara pemilih diberikan ke parpol. Dari situ, parpol kemudian mendistribusikan suara kepada calon yang direstui parpol. Dengan sistem itu, yang dirugikan adalah caleg yang tak direstui parpolnya, tetapi lebih unggul di mata pemilih.
Jual-beli suara juga rentan dilakukan partai yang tidak mendapat kursi di DPR. Politisi dari parpol seperti ini akan menjajakan suaranya ke caleg potensial yang berani membayar mahal.
Banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bekerja turun-temurun, bahkan ada yang sudah sejak Orde Baru. Hal yang makin mengkhawatirkan, honor mereka pada pemilu kali ini masih sama dengan pemilu lalu, tetapi lebih rendah dibandingkan pilkada. Dengan fakta seperti itu, peluang mereka ”masuk angin” atau disusupi kepentingan parpol tertentu menjadi sangat tinggi.
Dari 3,3 juta pemilih tanpa nomor induk kependudukan, diharapkan bisa segera selesai sebelum tenggat yang ditetapkan Bawaslu.
KPU juga sedang gencar-gencarnya menyosialisasikan sistem penghitungan suara. Di penghitungan suara inilah, KPU berusaha transparan untuk mengejar kepercayaan publik.
Usulan Bawaslu agar formulir rekapitulasi penghitungan suara (C1) bisa dibuka di tingkat desa/kelurahan akhirnya diadopsi KPU. Sebelumnya, C1 hanya dibuka jika ada masalah. Dengan cara itu, akan ada pembanding antara catatan di C1 plano dan C1 sertifikat.
KPU juga serius menyiapkan sistem yang fokusnya memperkuat pembuktian administrasi jika ada sengketa, yaitu dengan mengandalkan pemindaian dan publikasi C1 di situs web KPU.
Pengalaman di MK, dalam banyak sengketa pilkada, sering dijumpai C1 berbeda antara yang diajukan pemohon dan termohon. Bahkan, saat dicek di kotak suara juga berbeda, hingga ada empat versi C1. Tak ada referensi yang memastikan keaslian C1.
Pada pemilu nanti, agar tak mengulangi persoalan semacam itu, formulir C1 sertifikat dan C1 plano akan ditandai khusus dengan mikrotek dan hologram. Surat suara juga ditandai mikrotek. Dengan cara itu, jika di pengadilan ada sengketa, KPU bisa menjelaskan mana yang palsu dan mana yang asli.
KPU pada pemilu kali ini tak akan menggunakan teknologi informasi (TI) secara kompleks untuk pemungutan suara. Istilahnya, tak ada e-voting untuk Pemilu 2014. Sempat terdengar kabar KPU akan menggunakan rekapitulasi elektronik, yaitu rekapitulasi penghitungan suara dengan menggunakan perangkat TI. Namun, akhirnya KPU memutuskan tak menggunakannya.