Gunung es
Kasus dugaan korupsi Akil dan dinasti politik Atut ibarat gunung es dari berbagai masalah yang mencederai fondasi sebuah negara hukum. Persoalan sosial, ekonomi, hukum, agama, hingga olahraga pun sudah terjangkiti korupsi.
Kalau saja para pelaku korupsi ini menghargai sejarah, seharusnya mereka sadar diri bahwa merekalah yang telah dan akan membuat rakyat Indonesia sengsara. Praktik korupsi dan dinasti politik berdasarkan perspektif sudah dapat diproyeksikan bakal berujung gagalnya sebuah pemerintahan, tak jarang berakhir pahit memilukan.
Penggulingan Soeharto di Indonesia atau Hosni Mubarak di Mesir adalah contoh yang bisa disebut dari pemerintahan yang berakhir duka. Rakyat yang merasa tak dimanusiakan sudah "dikodratkan" sejarah bahwa mereka bakal melawan para tiran.
Padahal, sebaliknya, tak sulit menemukan sosok-sosok inspiratif dalam sejarah sebuah negeri. Di Indonesia, ada Muhammad Hatta, misalnya. Meski pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia, Hatta hingga akhir hayatnya bahkan tak bisa membeli sepatu bermerek Bally yang lama dia idamkan.
Guntingan iklan sepatu Bally adalah salah satu simpanan yang ditemukan saat Hatta mangkat. Kalau saja Hatta mau memanfaatkan posisi yang pernah dia punya, sangat mudah bagi dia untuk mendapatkan sepasang sepatu itu. Hatta tinggal meminta tolong kepada para duta besar atau pengusaha yang dia kenal.
"Kita sudah cukup hidup sederhana begini, yang kita miliki hanya nama baik. Itu yang harus kita jaga terus." Begitu kata Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Hatta, menirukan kalimat sang ayah kepada ibunya, Rahmi Hatta. (Kompas, 9 Agustus 2002).
Penyakit
Akhirnya, sebuah kesimpulan muncul di benak saya. Ada yang salah di diri kita sendiri dan dalam kehidupan berbangsa. Namun, sepertinya keinginan memperbaiki kesalahan itu kalah oleh keinginan untuk meninggikan diri sendiri.
Kita pun lalai menjadikan sejarah alam sebagai pertimbangan. Banyak ketidakseimbangan antara hukum alam dan perilaku manusia. Padahal, sejarah tak akan pernah terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Dalam banyaknya ketidakseimbangan seperti yang terjadi sekarang, sejarah mencatat bahwa saat itulah beragam bencana alam terjadi.
Bencana memang tetaplah sebuah bencana. Namun, atas sejumlah persoalan masalah kemanusiaan di negeri ini, bencana tersebut rasanya pantas dipahami sebagai "wahyu", ada relasi tak harmonis antara kita dan alam. Ada peringatan yang tercatat dalam sejarah hidup, tetapi kita lalaikan, dan tak kita hormati.
Lagi pula, kita tak dapat membantah "tuduhan" alam. Jika kita ingin membantah, meminjam teori Immanuel Kant, maka alam justru hanya semakin memojokkan kita untuk menerima bahwa selama ini kita memang bangsa barbar sehingga layak menerima kemurkaannya.
Pembarbaran itu hari ini tecermin dari makin banyaknya orang yang tidak puas dengan jatah hidup, dan semakin serakah memperkaya diri lewat korupsi. Pembarbaran yang terjadi karena banyak orang tidak lagi menunjukkan kelemahlembutan, tetapi memakai kekerasan untuk membuat pertikaian dan kejahatan.
Dari letusan Gunung Kelud serta berbagai bencana alam lain di negeri ini, kita seharusnya dapat mengambil hikmah sejarah untuk memproyeksikan masa depan yang lebih baik. Jangan sampai pelajaran berharga tersebut hilang ditelan pengulangan sejarah oleh "penyakit lupa" yang sepertinya diidap bangsa ini, entah sejak kapan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.