KOMPAS.com — Kamis, 13 Februari 2014, ketika Gunung Kelud sedang memorakporandakan dan melumpuhkan segalanya, saya teringat dengan berbagai sejarah panjang Kota Kediri di Jawa Timur. Ada cerita, mulai dari Kerajaan Singosari, hingga kutukan keris Mpu Gandring yang mencabut nyawa Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Arok, Anusapati, dan Tohjaya.
Sejarah Kediri punya begitu banyak periodisasi dengan cerita masing-masing. Terlalu banyak yang diceritakan, apalagi dikaitkan dengan bencana letusan Gunung Kelud itu. Namun, sekelebat ingatan membawa saya pada ucapan salah satu dosen dalam sebuah perkuliahan. "Sejarah itu berulang, dan sejarah dibuat untuk memproyeksikan masa depan yang lebih baik."
Ucapan dosen tersebut membuat saya tertegun. Selain letusan Gunung Kelud, saya langsung teringat dengan sejumlah bencana lain di Indonesia, dari tsunami Aceh, letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada 2010, dan Gunung Sinabung yang sekarang masih bergejolak. Buku Worldview: The History of a Concept karya David K Naugle pun segera saya rengkuh.
Immanuel Kant, yang dikutip pada halaman 58 buku Naugle itu, mengatakan bahwa memperluas istilah persepsi wawasan dunia seseorang bukan hanya dari pemahaman pancaindra seseorang terhadap hukum alam semata, tetapi juga berhubungan dengan ketegorisasi pengalaman moralnya.
Ketamakan
Dengan begitu, menurut Kant, sejarah adalah perantara interaksi antara alam dan hukumnya yang tidak terduga, dan juga merupakan perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar dan rasional. Jika melalaikan interaksi itu, maka manusia akan "dibarbarkan" oleh alam.
Maka dari itu, saya pun menimang-nimang kondisi bangsa Indonesia hari ini, manusia yang menghuni alam bernama Indonesia. Ada begitu banyak masalah moral. Setiap manusia seolah ingin memiliki segala-galanya. Perbuatan manusia tak lagi menggunakan rasio, tetapi juga kelicikan.
Sebut saja, maraknya kasus korupsi. "Kalau hakim korup, banyak. Tapi, Ketua Mahkamah (Konstitusi) ditangkap tangan, di dunia ini sepertinya baru terjadi di Indonesia," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, setelah Akil Mochtar tertangkap tangan dengan dugaan suap.
Ada pula kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Banten Atut Chosiyah dan anggota keluarganya. Kasus Atut bahkan seolah menegaskan ucapan dosen saya dalam salah satu kuliahnya dulu. Sejarah adalah pengulangan. Hal ini menarik kembali catatan lama, jauh ke abad ke-15, pada era kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Kala berkuasa, Sultan Ageng menuntut teguh iman para penguasa di bawah kekuasaannya untuk tak mudah terpikat bujuk rayu dan pemberian hadiah dari VOC. Merle Calvin Ricklefs dalam karyanya A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (1981), menyebutkan, Sultan Ageng tampak menyadari betul niat VOC memonopoli ekonomi di Banten. Taktik divide et impera alias pecah belah VOC hanya dapat terjadi saat ikatan moral mulai longgar.
Kebesaran Banten mulai memudar pada masa Abdulkahar yang adalah putra mahkota Sultan Ageng. Dia yang lebih dikenal sebagai Sultan Haji mulai mengutamakan kepentingan pribadinya. Kejayaan Banten merosot tajam ketika Sultan Haji dengan mudah terperosok oleh muslihat VOC, yang menyebar isu-isu bohong tentang Sultan Ageng.
Khawatir kehilangan takhta dan kekuasaan, Sultan Haji bersedia bekerja sama dengan VOC untuk merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri. Singkat cerita, langkah Sultan Haji menyebabkan kekuatan Banten terpecah. Sultan Ageng dan masyarakat Banten melawan penindasan yang dilakukan oleh Sultan Haji. Sekali lagi, Sultan Haji adalah putra Sultan Ageng sendiri.
Kisah ketamakan dalam meraih harta dan takhta, berikut konflik keluarga tersebut, bermuara pada runtuhnya Kesultanan Banten. Perkembangan berikutnya dari politik Banten menjadi latar dari buku Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker. Buku ini menggambarkan ketidakpuasan atas sistem pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Banten, yang membiarkan praktik perbudakan, kerja paksa, dan korupsi oleh bupati pribumi dan keluarganya.
Syarif Hidayat, dalam buku berjudul Politik Lokal di Indonesia (2007) karya Gerry Van Klinken dan Henk Schulte, menyebutkan bahwa keterkaitan pola interaksi antara penguasa, pengusaha, dan para jawara yang sudah lama ada di Banten merupakan cikal bakal berkembangnya dominasi politik dan ekonomi informal.
Dominasi ini rawan penyalahgunaan kebijakan publik, korupsi, dan kolusi. Syarif menyebut praktik dominasi ini sebagai shadow state atau pemerintahan informal, yang di luar negeri mencuat pada era 1990-an.