Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/01/2014, 08:14 WIB

KOMPAS.com - HASIL survei yang dilakukan Polling Center menunjukkan bahwa lebih dari separuh (52,1 persen) pemilih akan menerima uang dan barang dari kandidat dalam pemilihan umum. Apakah uang akan (lagi) berkuasa pada Pemilihan Umum 2014 yang akan datang ini?

Dalam pemilu, politik dan uang merupakan pasangan tak terpisahkan. Uang penting untuk membiayai kampanye karena kampanye berpengaruh pada hasil pemilu. Kampanye tidak akan berjalan tanpa uang meski uang tidak merupakan faktor satu-satunya untuk memperoleh keberhasilan.

Dalam sistem politik yang tidak demokratis, korupsi politik akan tumbuh subur dan menjadi tabiat kebanyakan politisi. Sama halnya dalam partai yang tidak ”sehat”, mereka akan mencari sumber-sumber pendanaan instan untuk menjalankan mesin politik, salah satunya melalui korupsi uang negara.

Atau melalui cara instan yang lain yang marak belakangan ini dengan menarik kekuatan pemodal (baca: pengusaha) ke dalam kongsi partai.

Hasil survei ”Politik Uang dalam Pemilu” yang dilakukan Polling Center (30/12/2013) tentu menjadi ”alarm bahaya” terkait dengan kualitas pemilu yang sudah di depan mata. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.760 responden di enam daerah, yakni Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Hasilnya lebih dari setengah masyarakat akan menerima pemberian dalam bentuk apa pun. Politik uang dalam pandangan sebagian masyarakat dianggap rezeki musiman yang tidak seharusnya ditolak.

Maka, jamak diketahui para calon anggota legislatif (caleg) menyebarkan berbagai sogokan kepada masyarakat ”berbalut” bantuan. Saat bersamaan ramai pula ditemukan masyarakat berbondong-bondong mengejar para caleg dengan berbagai proposal, mulai dari proposal acara keramaian hingga pembangunan fisik sarana umum.

Tidak berpengaruh

Di tengah maraknya politik uang yang terjadi dalam kontestasi elektoral, sebuah pertanyaan besar bagi publik muncul. Apakah politik uang yang dilakukan kandidat linear atau sejalan dengan hasil pemilihan umum?

Jawabannya: tidak. Dilihat dari hasil survei, ternyata hanya 18,1 persen masyarakat yang terpengaruh dengan uang yang diberikan kandidat. Adapun 42,8 persen akan memilih sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, angka yang cukup mencengangkan, sebanyak 21,1 persen pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang.

Publik saat ini semakin paham bahwa kandidat yang melakukan politik uang sangat berpotensi melakukan korupsi. Maka, kita saat ini sangat mafhum mendengar anekdot warga: ”Terima uangnya, jangan pilih orangnya”.

Di luar survei tersebut, realitas yang ditemukan oleh Indonesia Corruption Watch dalam pemantauan Pemilu 2009 dan pemantauan beberapa pemilihan umum kepala daerah (pilkada) menunjukkan juga fenomena identik bahwa politik uang tidak linear dengan hasil pemilihan. Petahana yang melipatgandakan alokasi bantuan sosial (bansos) dalam pemilu tidak serta-merta berhasil menang, baik dalam pemilu maupun pilkada.

Setidaknya ada dua pelajaran penting yang seharusnya dipahami para kandidat dalam pemilu mendatang, baik dari hasil survei maupun realitas hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama, masyarakat sudah semakin ”melek” politik. Walaupun diberi uang atau sogokan dalam berbagai bentuk, masyarakat relatif tetap memilih kandidat sesuai dengan keinginannya. Uang hanya memengaruhi sebagian kecil kelompok saja

Kedua, uang suap kandidat sering kali ”menguap”. Yang kenyang justru sering kali tim sukses atau lembaga survei. Saat ini tidak ada lagi jaminan yang memberi akan juga dipilih oleh rakyat.

Titik rawan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com