KOMPAS.com -
APA yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini adalah peringatan akan hukum alam yang tetap, yaitu perubahan. Perubahan yang sebetulnya sudah diperkirakan terjadi. Namun, ketika perubahan itu benar-benar terjadi, kegagapan masih mewarnai kita hari-hari ini. Wajar. Perubahan kerap tidak mengenakkan. Dalam kegagapan itu, kita belajar.

Pintu perubahan itu dibuka BJ Habibie, presiden ke-3 Republik Indonesia. Alasannya rasional, lantaran mendapati tidak bisa dipercayanya aparat pemberi informasi (intelijen) kepadanya sebagai Presiden. Dari 10 laporan intelijen, setiap laporan berbeda. Habibie lalu membuka kekangan yang membelenggu pers. Pers dibebaskan sebagaimana seharusnya untuk sumber informasi baginya.

Dari kebebasan pers itu, Habibie menjadi lebih tahu yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Laporan intelijen tetap diterima dengan catatan kritis laporan pers di media. Media lantas menjadi penjaga jalannya negara demokrasi.

Bersyukur kita, setelah era Habibie berakhir, kebebasan pers ini tetap dijaga oleh presiden berikutnya yaitu KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun kerap dikritik atau bahkan jadi bulan-bulanan media, tidak satu pun dari mereka memberangus pers. Meskipun dibesarkan rezim otoriter, mereka berubah menjadi demokratis dan memberi ruang untuk kebebasan berkembang. Hasil nyata reformasi yang pantas disyukuri.

Namun, persoalan tidak berhenti di situ. Bersamaan dengan perkembangan media dan meluasnya aktor-aktor yang berperan di sana dengan peran-peran tidak terduga, sebuah perubahan kini tengah terjadi. Media berbasis internet dan turunannya, misalnya. Untuk perubahan yang terjadi setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini, tidak terlihat niat apalagi upaya dari penguasa negeri ini untuk memberangus kebebasan. Semua diberi ruang, juga untuk mereka yang dirasa tidak ”menyenangkan” oleh mereka yang sedang berkuasa.

Kalau kita tidak menemukan warisan dari dua periode pemerintahan Yudhoyono, dijaganya kebebasan sebagai roh demokrasi ini layak dikemukakan. Alih-alih memberangus kebebasan di media dan media sosial, Yudhoyono justru nyemplung di dalamnya.

Hak jawab pertama

Untuk menjaga kebebasan pers yang dibuka pintunya oleh Habibie, Yudhoyono memberi contoh. Ketika merasa nama baiknya dirugikan pers, Yudhoyono menggunakan hak jawab seperti diatur UU No 40/1999 tentang Pers yang diteken Habibie sebulan sebelum pidato pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh Dewan Pers, Presiden Yudhoyono (2005) dicatat sebagai pejabat pertama pengguna hak jawab ketika pers dinilai merugikan dirinya.

Ketika Indonesia (Jakarta) tercatat paling berisik di media sosial (Twitter), Yudhoyono nyemplung di kegaduhan itu untuk berbagi sapa, pandangan, dan inspirasi. Kita masih ingat bagaimana peluncuran akun @SBYudhoyono dilakukan di Istana Cipanas, Jawa Barat. Ribuan tanggapan lantas menyapanya. Ada tim yang mengelola akun ini. Namun, Yudhoyono tetap berusaha berinteraksi. Tiap ”kicauan” darinya diberi tanda *SBY*.

Bukan hanya Yudhoyono, Ani Yudhoyono (istrinya), anak-anak, dan menantu-menantunya ada di media sosial. Ani, misalnya, sangat populer di Instagram, media sosial berbasis foto dan komentar. Semangat mereka sama seperti semangat zaman yang meminta, yaitu berinteraksi dan berbagi.

Meskipun respons yang diterima ribuan dan beragam serta respons atas respons mereka kerap ditertawakan, mereka tampak tidak jera. Jeda kerap diambil seperti dilakukan Ani Yudhoyono di Instagram pada tiga hari terakhir setelah menjadi bahan berita di sejumlah media. Mereka terus berbagi sambil menyelami semangat zaman.

Bergegas dan pedas

Kita melihat zaman yang cepat berubah dan enggan menunggu atau memaklumi siapa pun yang dirasa lambat. Bisa dipahami karena mayoritas yang masuk media sosial adalah kelompok yang tumbuh dalam semangat zaman yang bergegas, lekas, dan pedas. Smart phone yang membuat informasi dekat di genggaman dan membuat mudah ”tidak peduli” berkontribusi melahirkan semangat ini.

Menurut survei Yahoo! dan Mindshare (2013), 39 persen dari 41,3 juta pengguna smart phone di Indonesia berusia 16-21 tahun. Mayoritas penggunanya berusia di bawah 30 tahun. Semangat bergegas, lekas, dan pedas yang lahir bisa jadi karena alasan ber-smart phone, yaitu bersantai, membunuh waktu, dan sekadar mencari hiburan.

Karena sekadar selingan, menganggap terlalu serius perilaku pengguna smart phone di media sosial kerap dirasa berlebihan. Tidak heran, mereka yang mampu membuat santai, menemani saat waktu luang, dan menghibur di tengah kepenatan mendapat respons menggembirakan di media sosial. Hal sebaliknya lantas seperti mendapat perlawanan.

Tidak berhenti di situ, pers bebas yang sejatinya terikat sejumlah aturan ikut serta meluaskan dan menari dalam gendang bergegas, lekas, dan pedas ini. Jarang didudukkan persoalan atas fenomena. Ke mana semua ini bermuara?

Sambil berharap banjir nyata di sekitar kita reda, kita melihat banjir informasi. Siapa pun tanpa bisa diduga bisa jadi aktornya. Panggung politik kita hari-hari ini bisa jadi cerminan situasi macam ini. Bergegas, lekas, dan pedas.

Dalam keasyikan tanpa akhir ini, kita sering bingung dan kerap bertanya, apa maknanya?