Menurut Boni, penilaiannya itu didasari pada dua hal. Pertama, syarat ambang batas suara 20 persen yang ketat membatasi peluang partai politik mencalonkan presiden sendiri. Kedua, penyebaran dukungan kepada partai politik yang tidak proporsional.
"Partai tertentu mendulang dukungan signifikan, sementara yang lain mengalami penyusutan yang juga signifikan. Dengan kisaran partisipasi politik 60-70 persen, penyebaran dukungan partai akan timpang," kata Boni dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Minggu (19/1/2014).
Ia mengatakan, meskipun Jokowi sampai hari ini belum dinyatakan sebagai capres, sentimen publik terhadap pencapresan Jokowi menjadi kekuatan besar bagi kelompok politik nasionalis seperti PDI Perjuangan dan Partai Nasdem. Menurutnya, dukungan Nasdem kepada Jokowi sudah tampak sejak 2012.
"Selain karena Paloh juga tidak ambisius mencalonkan dirinya sebagai presiden, prinsip politik Nasdem cenderung sejalan dengan karakter dan gaya kepemimpinan Jokowi," katanya.
Blok Prabowo
Blok Prabowo, menurut Boni, merupakan kombinasi yang menarik antara ideologi Partai Gerindra yang kuat dan figur Prabowo yang populer sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Dia mengatakan, Partai Gerindra akan menjadi penentu koalisi Blok P bersama dengan partai menengah lainnya yang juga kesulitan mencalonkan presidennya sendiri.
Partai Demokrat akan lebih mudah berkoalisi dengan Partai Gerindra ketimbang PDI Perjuangan, dan pastinya akan disusul PAN dan PKB Muhaimin.
Blok X
Adapun Blok X, menurut Boni, akan berpusat pada Partai Golkar sebagai kekuatan utama.
Namun memang belum diketahui, siapa calon presiden dan wakil presiden yang diusung dari kelompok ini. Pasalnya, menurut Boni, elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie tidak sesignifikan meningkatkan elektabilitas Partai Golkar.
Dia juga menilai bahwa Partai Golkar tidak mengejar kemenangan Aburizal sebagai presiden. Kemungkinan, tambahnya, PKS, PPP, dan PBB akan bergabung dengan blok ini.
"Sementara itu, Hanura ada di persimpangan," ujarnya.