JAKARTA, KOMPAS.com
—  Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan tentang perbuatan tidak menyenangkan di dalam Pasal 335 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana diapresiasi positif.

Selama ini, ketentuan terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan itu kerap kali menimpa beberapa individu, terutama para aktivis. Ketentuan yang sering disebut pasal karet itu juga sering dikeluhkan karena sangat mudah disangkakan kepada pihak-pihak yang dianggap bisa menghambat sebuah kegiatan atau pihak yang tidak disukai.

Tidak berlebihan bila MK menilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpeluang untuk disalahgunakan oleh penyidik dan penuntut umum dengan menerapkan pasal tersebut secara sewenang-wenang.

Pasal 335 KUHP Ayat (1) berbunyi, ”Barangsiapa secara hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dan sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”

”Kami kerap mengategorikan aturan tentang perbuatan tidak menyenangkan sebagai pasal karet,” kata peneliti Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, Jumat (17/1), saat dihubungi Kompas.

Uji materi di MK itu diajukan Oei Alimin Sukamto Wijaya, warga Surabaya, Jawa Timur. MK memutuskan Oei Alimin memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon sebab yang bersangkutan telah dijadikan tersangka dan ditahan oleh aparat yang berwajib di Surabaya. Oei Alimin dikenai tiga pasal, salah satunya adalah Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, setelah bertengkar dengan salah satu pemilik hotel di Surabaya.

Menurut Erwin, bahkan masih banyak pasal karet lagi, seperti terkait dengan pencemaran nama baik. Unsur-unsur tersebut sangatlah subyektif sehingga mudah digunakan oleh para penegak hukum.

”Untuk publik figur biasanya digunakan ketentuan dalam KUHP, sedangkan bagi para aktivis dipakai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mengapa UU ITE dipakai? Karena, hukumannya lebih berat,” kata Erwin.

Awal Desember 2013, Kompas mencatat bahwa anggota Komisi II DPR, Gamari Sutrisno, mengadukan Panwaslu Blora dan dua Panwascam setempat ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Pengaduan memang bukan ke kepolisian, melainkan delik yang digunakan adalah terkait perbuatan tidak menyenangkan. Hal itu buntut dari Gamari yang merasa dikuntit Panwaslu, di antaranya dengan mengambil gambar tanpa izin. Bahkan, menurut versi Gamari, sampai ada pengancaman akan membubarkan resesnya.

Delik perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, misalnya, pernah menimpa Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pada Agustus 2013. Ketika itu, Denny diadukan oleh advokat OC Kaligis karena kicauan di Twitter.

Ketika itu dia menulis di Twitter tentang advokat yang ”maju tak gentar membela yang bayar”. Denny pun sempat meminta maaf kepada advokat bersih.

Akan tetapi, pada awal Januari 2014, justru Denny yang melaporkan dua sahabat Anas yang menjadi pengurus Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Ma’mun Murod Al-Barbasy dan Tri Dianto.

Mereka berdua dilaporkan ke Mabes Polri. Tri dan Ma’mun dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik terhadap Denny Indrayana.

Menurut Erwin, seharusnya diuji pula frasa pencemaran nama baik. ”Persoalannya, bila pemohon bukan merupakan korban, maka tidak ada legal standing untuk mengajukan uji materi,” katanya. (Haryo Damardono)