JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Menurut MK, DPR hanya berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan KY.

MK pun membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang KY dan UU Mahkamah Agung yang mewajibkan KY mengajukan calon dengan jumlah tiga kali kebutuhan (3:1). MK menyatakan KY cukup mengirimkan satu nama calon untuk satu kursi hakim agung.

Hal tersebut terungkap dalam putusan uji materi UU KY yang dibacakan Kamis (9/1). MK mengabulkan permohonan tiga calon hakim agung yang gagal pada uji kelayakan dan kepatutan di DPR, yaitu Made Dharma Weda, RM Panggabean, dan ST Laksanto Utomo. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengungkapkan, perubahan mekanisme pemilihan hakim agung yang diatur di dalam UUD 1945 hasil amandemen dimaksudkan untuk lebih menjamin independensi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melekat pada institusi sekaligus hakimnya, termasuk hakim agung. Karena itu, mekanisme pengisian jabatan hakim agung harus diserahkan kepada organ konstitusional yang mandiri dan independen, dalam hal ini KY.

Sebelum UUD 1945 diubah, pemilihan hakim agung dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan DPR. Presiden memilih satu dari dua nama calon yang diusulkan DPR.

”Mekanisme tersebut dianggap tidak memberi jaminan independensi kepada hakim agung karena penentuan hakim agung akan sangat ditentukan oleh Presiden dan usul DPR yang kedua- duanya adalah lembaga politik,” ujar Ahmad Fadlil Sumadi.

Ia menambahkan, ”Perubahan UUD 1945 dimaksudkan antara lain memberikan jaminan independensi yang lebih kuat kepada hakim agung dengan menentukan mekanisme pengusulan hakim agung yang dilakukan suatu lembaga negara yang independen pula sehingga pengaruh politik dalam proses penentuan hakim agung dapat diminimalisasi.”

MK pun sependapat terhadap ketidaksinkronan pengaturan mengenai pengusulan calon hakim agung di dalam UUD 1945 dengan UU MA dan KY. Dalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 mengatur KY mengusulkan calon hakim agung ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Namun, UU MA menyebutkan calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama yang diusulkan KY (Pasal 8 Ayat 2).

Disambut baik

Putusan itu disambut baik oleh KY. Komisioner KY, Imam Anshori Saleh, mengapresiasi putusan MK yang membatalkan ketentuan 3:1 dalam pengajuan calon hakim agung. Hal itu akan sangat meringankan beban KY dalam menjaring calon hakim agung yang berkualitas. Selain itu, ia juga yakin hal tersebut akan menggairahkan calon hakim agung, baik dari jalur karier maupun nonkarier, karena tak perlu khawatir ada politisasi dalam pemilihan calon hakim agung di DPR.

Salah satu kuasa hukum pemohon, Erwin Natosmal Oemar, mengungkapkan, putusan tersebut bisa memutus logika transaksional dalam pemilihan calon hakim agung di DPR. Putusan itu juga memberikan kepastian hukum pada pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan yang selama ini dilakukan DPR. Seperti diketahui, uji kelayakan dan kepatutan yang digelar DPR selama ini hanya mengulang proses yang sudah dilaksanakan oleh KY.

Terkait putusan MK tentang seleksi hakim agung, anggota Komisi III DPR, Eva K Sundari, berpendapat, DPR harus menerima putusan MK karena sifatnya yang final dan mengikat.

”Buat saya ya tinggal laksanakan saja malah lebih gampang jadi ’pengawas’ karena bebas dosa perekrutan. Namun, bagaimana memastikan ada ’representasi’ ya? Selama ini jalur DPR jadi pengimbang (terhadap calon dari internal MA) melalui perekrutan kampus-kampus,” katanya.

Namun, Eva merasa khawatir peluang akademisi untuk menjadi hakim agung mengecil. ”Mahkamah Agung resisten sekali ke orang-orang kampus, padahal mereka dapat menjadi unsur pendobrak. Putusan-putusan progresif di MA akhir-akhir ini kan dimotori elemen kampus,” katanya.

Menurut Eva, di lain sisi, peluang perekrutan lebih lancar dan efisien. ”Nanti, prosesnya seperti di Komisi I untuk menyetujui atau menolak calon-calon duta besar,” katanya.

”Kini kuncinya ada pada relasi yang sehat dan berimbang antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Semoga Komisi Yudisial tetap kritis dan efektif sebagai ’pengawas’ langsung MA sehingga tahu kebutuhan untuk perbaikan lembaga MA, termasuk kriteria hakim agung,” ujar Eva.(ANA/RYO)