JAKARTA, KOMPAS.com —
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan, partainya menjadikan hasil survei sebagai salah satu masukan untuk menyusun strategi dan evaluasi. Gerak struktur partai dan para calon anggota legislatif dari PDI-P akan diintensifkan pada awal Desember 2013 sampai pelaksanaan pemilu legislatif pada April 2014.

”PDI-P tetap mengapresiasi dan bersyukur karena, menurut survei Litbang Kompas, elektabilitas kami masih di atas 20 persen,” kata Tjahjo, Kamis (9/1).

Menurut hasil survei Kompas yang dilakukan pada Desember 2013, PDI-P punya elektabilitas atau tingkat keterpilihan 21,8 persen. Angka itu menurun jika dibandingkan dengan hasil survei Kompas pada Juni 2013, di mana elektabilitas partai itu 23,6 persen. Tingkat elektabilitas itu juga masih di bawah target perolehan suara PDI-P pada pemilu legislatif, yaitu 27 persen (Kompas 9/1).

Belum optimalnya gerak struktur dan para calon anggota legislatif PDI-P di daerah pemilihannya, kata Tjahjo, menjadi sebab elektabilitas partainya relatif stagnan. Namun, sejak Desember 2013, kinerja mesin partai akan makin dioptimalkan.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menyatakan terkejut dengan hasil survei Kompas yang menempatkan PDI-P dan Partai Golkar sebagai partai dengan elektabilitas tertinggi. Dia juga terkejut dengan elektabilitas Partai Nasdem dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang berada di atas PKB.

”Ada kekagetan bagi saya, mengapa PDI-P dan Partai Golkar yang selalu bertengger di atas (urutan pertama dan kedua)? Artinya, tidak ada perubahan penting dalam perilaku pemilih. Ini jadi bahan refleksi bagi PKB untuk meningkatkan posisi (yang lebih tinggi),” katanya.

Menurut hasil survei Kompas pada Desember 2013, setelah PDI-P di peringkat pertama dengan elektabilitas 21,8 persen, Partai Golkar berada di urutan kedua dengan elektabilitas 16,5 persen. Sementara elektabilitas Partai Nasdem naik dari 4,1 persen pada Juni 2013 menjadi 6,9 persen pada Desember 2013. Elektabilitas Partai Hanura melonjak dari 2,7 persen (Juni 2013) menjadi 6,6 persen (Desember 2013). Elektabilitas Partai Nasdem dan Partai Hanura pada Desember 2013 ada di atas PKB yang elektabilitasnya justru turun dari 5,7 persen (Juni 2013) menjadi 5,1 persen (Desember 2013).

”Dengan naiknya (elektabilitas) Nasdem dan Hanura, berarti iklan di televisi efektif untuk memengaruhi perilaku pemilih. Oleh karena itu, kami juga menyiapkan iklan di televisi,” tutur Muhaimin.

Namun, Muhaimin tetap mensyukuri elektabilitas PKB yang sekitar 5 persen. Perolehan itu tak lepas dari kerja keras partai untuk terus memperkuat konsolidasi organisasi, penyatuan kekuatan penopang partai, soliditas keluarga besar Nahdlatul Ulama, dan para calon anggota legislatif terus bergerak.

”Kami tetap optimistis elektabilitas PKB akan bisa meningkat. Kami punya banyak kantong-kantong basis massa, yang mungkin sebagian belum sepenuhnya dibaca oleh survei,” kata Muhaimin.

Yunarto Wijaya dari Charta Politika berpendapat, iklan merupakan faktor sekunder dalam upaya menaikkan elektabilitas. Iklan hanya efektif bagi tokoh atau parpol yang tingkat pengenalannya di publik masih rendah.

Pendekatan langsung di lapangan dengan pemilih, kata Yunarto, jauh lebih efektif menarik simpati publik. Sayangnya, saat ini tidak banyak parpol yang mampu melakukan hal itu di akar rumput.

Publik apatis

Lebih jauh Yunarto menangkap, stagnasi elektabilitas parpol yang cenderung menurun itu sebagai fenomena apatisme publik terhadap pemilihan legislatif.

Menurut Yunarto, kecenderungan stagnasi elektabilitas parpol itu berbanding terbalik dengan hasil survei elektabilitas tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden. Pada pemilihan presiden mendatang itu, publik justru mengalami euforia, di mana pemilih yang belum memiliki referensi pilihan kian menurun.

Laporan dari sejumlah daerah, misalnya, menyebutkan, elektabilitas Jokowi yang sangat tinggi disambut positif warga yang ditemui Kompas hari ini, seperti di Medan, Makassar, Banyuwangi, dan Solo.

”Kalau calon lama, sudah kelihatan kinerjanya. Selama ini, sih, tak ada perubahan signifikan, sembako masih tinggi, pelayanan masyarakat masih birokratis, barang impor juga terus-terusan masuk,” kata Bambang Samudera, pedagang pasar Banyuwangi.

Tidak berlebihan kalau kemudian warga Sumatera Utara mendesak agar partai- partai, tidak hanya PDI-P, menangkap aspirasi warga yang sangat tinggi mendukung Jokowi. ”Partai tidak dilihat lagi oleh rakyat karena partai selama ini menjadi benalu,” kata Jaya Arjuna (60), warga Medan yang juga pengajar di Universitas Sumatera Utara. (/Sri Rejeki/Siwi Yunita Cahyaningrum/Aufrida Wisma Warastri)