KOMPAS.com
 — Pada Selasa (7/1/2014) dini hari, tempat tinggal Anas Urbaningrum di Duren Sawit, Jakarta Timur, didatangi sejumlah orang. Sejak Senin sore hingga Selasa subuh, silih berganti teman-teman datang untuk berbincang-bincang.

Anas bercerita banyak hal soal politik hingga dirinya yang kerap didatangi orang-orang tidak dikenal.

Beberapa teman dekat Anas dari masa pergerakan mahasiswa di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga sobatnya dari Bali, Gede Pasek Suardika, menemaninya malam itu.

Soal pemilu

Anas Urbaningrum bicara mengenai Pemilihan Umum 2014 yang, menurut dia, akan memunculkan banyak calon presiden terkait dengan gugatan yang diajukan Yusril Ihza Mahendra ke Mahkamah Konstitusi.

”Gugatan tersebut adalah menghidupkan kartu. Sekarang ini hanya satu-dua partai saja yang potensial bisa meraih 20 persen suara untuk memajukan calon presiden sendiri.
Kalau gugatan Yusril dikabulkan, itu akan membuat dinamika persaingan calon presiden. Setiap partai bisa memajukan calon sendiri,” kata Anas.

Dia mengingatkan, Ketua MK Hamdan Zoelva beberapa tahun silam juga pernah mengajukan gugatan serupa agar memungkinkan setiap partai memajukan calon presiden sendiri tanpa batasan jumlah minimal perolehan suara hingga 20 persen. Saat ini, sebagai Ketua MK, Hamdan Zoelva akan menentukan apakah dia masih membawa idealismenya dulu untuk memberi peluang partai-partai mengajukan capres.

Partai politik yang sekarang kehabisan energi pun mendapat angin segar jika gugatan Yusril dikabulkan oleh MK. ”Partai yang tidak siap ataupun sedang terpuruk mendapat angin segar. Mereka membeli waktu. Dinamika persaingan calon presiden menjadi lebih hidup. Ini yang disebut strategi menghidupkan kartu,” kata Anas.

Orang tak dikenal

Selain itu, Anas juga menceritakan kedatangan orang-orang tidak dikenal di rumahnya atau dalam perjalanannya ke daerah. Suatu ketika, Anas bersama Athiyyah Laila, istrinya, dan keluarga datang di rumah keluarga besar Athiyyah di Yogyakarta. Ada orang tidak dikenal di halaman rumah tersebut.

”Dia pura-pura berjualan jajanan, sambil membawa tiga buah telepon genggam, sibuk mengamati keadaan di rumah. Jok belakang motor tersebut bermotif loreng militer. Yang bersangkutan tidak fokus berjualan,” kata Anas.

Saat Kompas berkunjung ke Duren Sawit dan berbincang dengan teman-teman Anas dari Jawa Timur, juga ada seseorang yang berulang kali nimbrung berbicara dan menyalahkan sistem tata kelola negara Indonesia. Pria yang mengaku lulusan terbaik dari Amerika Serikat itu belakangan diminta meninggalkan rumah Anas oleh penjaga.

Dia juga meminta kepastian kehadiran Anas ke kantor KPK pada Selasa pagi.

Sutan, seorang sahabat Anas, mengatakan, sewaktu Kongres Partai Demokrat di Bali pun Anas selalu dibayangi rombongan orang bermotor. ”Waktu itu Mas Anas bertanya, dari mana mas-mas. Dari Kalibata atau Pejaten,” kata Sutan menirukan Anas.

Sutan menceritakan, pria bertubuh subur yang menyelinap masuk rumah Anas itu sepertinya berkantor di Pejaten atau Kalibata, Jakarta Selatan. Anas berseloroh, ia dimata-matai seperti musuh negara. ”Padahal, saya ini kan dimusuhi rezim penguasa,” kata Anas kalem.

Menjelang dini hari, teman-teman Anas mohon diri. Gede Pasek Suardika juga termasuk yang terakhir pulang dari rumah Anas. (Iwan Santosa)