Suara publik yang terekam dalam jajak pendapat Kompas selama lima tahun terakhir terus menggaungkan suara sumbang tentang kinerja parpol.
Publik menyoroti berbagai aspek fungsi parpol, mulai dari penyalur aspirasi, tempat melakukan pendidikan politik, perekrutan politik, penggalangan partisipasi publik, hingga kontrol terhadap pemerintah.
Memburuknya sosok parpol di mata publik berkaitan dengan kiprah para kadernya, terutama politisi yang berhasil duduk di parlemen. Berdasarkan catatan Litbang Kompas, tidak kurang dari 29 anggota DPR periode 1999-2004 dijerat kasus korupsi. Pada DPR periode berikutnya, setidaknya 10 politisi Senayan dipenjara karena kasus korupsi.
Sementara itu, dua tahun terakhir, publik menyaksikan sejumlah politisi dari parpol diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena terbukti menggunakan pengaruh politiknya untuk mengatur anggaran, menerima, atau memberi suap dari atau untuk pejabat eksekutif.
Berdasarkan catatan KPK, hingga tahun 2013, sudah 73 anggota DPR/DPRD yang ditindak komisi tersebut terkait dengan kasus korupsi. Jumlah tersebut bisa membengkak jika dimasukkan pula kader parpol yang terjerat persoalan korupsi yang ditangani KPK.
Bertubi-tubinya kasus korupsi para politisi yang terkuak mengakibatkan merosotnya kepercayaan publik terhadap wakil rakyat pilihan mereka.
Tidak hanya kasus korupsi, publik pun menyoroti kinerja politisi lainnya, yaitu dalam fungsi legislasi. Kinerja legislasi politisi dinilai rendah, antara lain karena tingkat kehadiran mereka di dalam rapat-rapat pembahasan juga cukup rendah. Pada tahun 2013, DPR baru menyelesaikan 16 Rancangan Undang-Undang menjadi UU. Padahal, DPR menargetkan menyelesaikan 76 RUU prioritas yang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2013. Sementara, tahun lalu DPR berhasil mengesahkan 30 RUU menjadi UU dari target 69 RUU pada tahun 2012.
Pilihan politik
Parpol semestinya bisa mengontrol sepak terjang kadernya, baik yang duduk di legislatif maupun pemerintah. Namun, yang terlihat justru ketidakberdayaan parpol terhadap wakilnya di parlemen atau pemerintahan. Ini karena sebagian dari pengurus parpol juga menjadi anggota legislatif atau menduduki jabatan di pemerintahan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pengurus parpol terkesan membela kadernya jika mereka terindikasi terlibat kasus pelanggaran hukum.
Sikap parpol yang lebih mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya ini kian memperburuk wajah parpol di mata publik. Alhasil, lebih dari separuh responden jajak pendapat ini mengaku tidak percaya lagi terhadap parpol dalam menyalurkan aspirasi mereka. Sementara, 45 persen responden lainnya masih percaya parpol sebagai wadah penyalur aspirasinya.
Penyikapan yang terbelah itu mengindikasikan munculnya pemilih yang kian rasional.
Berdasarkan jajak pendapat ini, separuh responden mengaku akan mengubah pilihan politiknya pada pemilu mendatang. Sementara itu, satu dari lima responden mengaku akan tetap memilih parpol yang dipilih pada pemilu sebelumnya.
Sikap responden yang mengubah pilihannya itu menunjukkan perilaku pemilih yang cenderung rasional. Mereka akan memilih partai lain karena tidak puas dengan kinerja partai yang dipilih pada pemilu lalu.
Hal terpenting bagi pemilih rasional adalah apa yang telah dilakukan sebuah parpol bagi kepentingan masyarakat. Jika suatu parpol atau tokohnya telah berbuat banyak untuk rakyat, pemilih rasional akan memilihnya. Sebaliknya, jika parpol hanya mengumbar janji atau wacana tanpa aksi nyata, mereka akan beralih ke parpol lain.