"Kalau korupsi kan tidak ada kaitannya dengan hak pilih. Dia (Luthfi) tidak menentang Pancasila dan UUD 1945," ujar Jazuli, di Kompleks Parlemen, Selasa (10/12/2013).
Jazuli mengatakan, hak seorang warga negara dalam hal memilih dan dipilih baru bisa dicabut jika dia melawan Pancasila dan UUD 1945. Misalnya, perbuatan subversif yang melawan pemerintahan.
"Tapi orang-orang menuntut boleh-boleh saja,” katanya.
Dia pun tak membantah saat ditanya kemungkinan Luthfi Hasan kembali ke PKS jika sudah selesai menjalani hukumannya karena masih memiliki hak politik.
“Kalau hukum enggak mencabut, kenapa partai harus mencabut? Orang belum masuk partai saja masih diterima, apalagi orang yang sudah pernah di dalam,” ujar Luthfi.
Vonis 16 tahun
Dalam pembacaan vonis kemarin, Luthfi Hasan Ishaaq dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR RI 2004-2009 dan setelahnya. Dia dianggap melanggar Pasal 3 Ayat 1 huruf a,b, c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, Pasal 6 Ayat 1 huruf b dan c UU Nomor 25/2003 tentang TPPU, kemudian Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Luthfi divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Luthfi terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Ahmad Fathanah dan terbukti melakukan pencucian uang.
Uang itu diterima Luthfi ketika masih menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden PKS. Untuk tindak pidana korupsi, Luthfi dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas putusan ini, Luthfi langsung memutuskan untuk banding.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.