Sebaliknya, gerakan anti korupsi, kata Roby, seharusnya bersifat bottom-up yang muncul dari masyarakat sipil.
"Negara menjadi bagian integral dari masalah (korupsi), bukan menjadi solusi," katanya saat jumpa pers bertemakan "Refleksi Hari Anti Korupsi dan Evaluasi Implementasi UNCAC (Unted Nations Convention Against Corruption)" di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (8/12/2013).
Roby menilai selama tahun ini, upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan. Meski bukan satu-satunya alat ukur yang bisa dipakai, indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International menunjukkan bahwa meski memiliki beberapa capaian positif, tingkat korupsi masih tinggi dan pemerintahan yang bersih belum terwujud.
Ia mengatakan ada beberapa faktor penghambat upaya pemberantasan korupsi. Faktor pertama, katanya, adalah desain kebijakan yang dianggap tidak mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Faktor kedua adalah sistem politik yang korup. Hal tersebut, menurut Roby disebabkan lemahnya komitmen dan kemauan dari para pemimpin, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk memberantas korupsi.
"Padahal mereka adalah kunci. Tapi yang terjadi justru mereka terlibat kasus korupsi," ucapnya.
Ia menilai dukungan masyarakat penting dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia pun mencontohkan saat masyarakat memberikan dukungan penuh terhadap lembaga antikorupsi tersebut saat dikriminalisasi oleh kepolisian.
Dengan demikian, Roby menyatakan masyarakat harus terus memberikan tekanan dalam upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.