"Saya waktu itu masih kelas 6 SD (sekolah dasar). Saya cukup kenal dekat," katanya saat berbincang dengan Kompas.com, di sekitar kediaman almarhum, Condet, Jakarta, Senin (2/12/2013).
Salah satu kenangan yang terus diingatnya adalah kebiasaan Mulyana menyuruhnya membeli koran setiap pagi. Mulyana, lanjutnya, biasanya memberikan upah setiap menyuruh membeli koran. Kebiasaan ini terus dilakukan karena Mulyana tidak mau ketinggalan informasi.
"Pokoknya koran itu harus dapat. Pernah saya cari koran ke Cililitan," kenangnya.
Di mata Ningrat, Mulyana adalah sosok yang baik dan pendiam. Ia juga ingat kebiasaan lain dari Mulyana adalah menulis. Ia mengaku sering mendengar suara mesin tik dari kamar Mulyana. Tak hanya itu, Mulyana juga sering merokok ketika beraktivitas, termasuk saat menulis.
"Sehari bisa empat bungkus," katanya.
Kesan lainnya juga diberikan oleh rekan Mulya sesama aktivis yang juga mantan jaksa agung, Abdul Rahman Saleh.
Meski bukan lulusan sarjana hukum, kata Saleh, Mulyana memiliki pemikiran yang memperkaya khazanah dunia hukum di Indonesia.
"Dia itu wacananya luas, bacaannya luas," katanya.
Saleh juga mengenal Mulyana sebagai sosok yang tidak kaku sehingga membuat senang anak-anak muda. Ia pun mengenang masa lalunya bersama Mulyana yang hidup serba susah dengan keluar masuk warteg.
Masa lalunya itu, lanjut Saleh, membuat Mulyana menjadi sosok yang rendah hati dan tidak sombong, termasuk dengan orang muda.
Kriminolog Universitas Indonesia itu wafat tadi malam di rumahnya, Kompleks Taman Meruya Ilir, Jakarta Barat, sekitar pukul 21.20 WIB. Almarhum sekitar tiga minggu lalu sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam, Jakarta Barat, karena sesak napas dan batuk-batuk.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.