Menuju 2014
Mengikuti polemik mutakhir SBY-Jokowi, saya melihat sejarah berulang. Pada tahun 1977, buku saya, Wawancara Imajiner dengan Bung Karno, diberedel bersama harian Kompas dan tujuh koran serta buku putih mahasiswa ITB karena menganjurkan pembatasan masa jabatan presiden untuk dua termin saja. Saat itu juga Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin diberhentikan karena sudah habis masa jabatan kedua dan tidak bisa dipilih lagi. Dipo Alam, eks Ketua Dema UI, mengajukan Bang Ali jadi capres. Soeharto ketakutan dan kasino di Jakarta ditutup, diganti porkas sebagai sumber dana yang bebas dari kekuasaan Gubernur DKI Jakarta.
Tahun 2013 menjelang 2014, polemik SBY-Jokowi mengawali perebutan jabatan presiden RI 2014-2019. Tidak ada kasino eks Bang Ali untuk Jokowi, tidak ada porkas Soeharto untuk SBY. Pertarungan tidak akan ditentukan oleh dana, tetapi oleh popularitas dan populisme. Karena itu, polemik mobil murah vs Esemka dan kemacetan serta pro dan kontra rezim buruh murah harus dicermati sebagai perang propaganda di antara dua capres ketujuh RI.
Kita tentu mengharapkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P yang ”partai wong cilik” bisa mewarisi kebesaran Bung Karno dalam membaca tanda-tanda zaman. Juga SBY akan membaca bahwa era Partai Demokrat tidak bisa diselamatkan hanya dengan wacana dan polemik, tetapi dengan suatu delivery yang nyata untuk rakyat.
Semua polemik yang ingin benar sendiri, menang sendiri, tentu harus dikubur dan rivalitas Soeharto-Bang Ali tidak perlu direinkarnasikan SBY-Jokowi.
Christianto Wibisono, Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia