JAKARTA, KOMPAS.com — Pembahasan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial berpotensi tidak mencapai titik temu. Keduanya punya tafsir beda soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2013 terkait MKHK.

MK menilai, MKHK merupakan Majelis Kehormatan MK yang dipermanenkan. MKHK bekerja jika ada hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran berat. Sebelum sampai MKHK, diperlukan instrumen lain (Dewan Etik) yang memproses pelanggaran. KY berpandangan, MKHK satu-satunya instrumen pengawas eksternal hakim MK yang bekerja menerima laporan, memeriksa hakim, dan mengadili hakim pelanggar etik.

Posisi berbeda itu terungkap dalam wawancara terhadap Ketua MK Hamdan Zoelva dan komisioner KY, Taufiqurrohman Syahuri, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (8/11).

Hamdan mengungkapkan, persoalan itu akan dibahas dalam pertemuan MK dengan KY Selasa pekan depan. Ditanya bagaimana jika titik temu tak tercapai dan KY berjalan sendiri membentuk MKHK, Hamdan mengungkapkan, ”Ya jalan saja sendiri kalau mau. Kan nunggu DPR juga. Kan setelah lewat tiga bulan, KY baru bisa jalan sendiri. Biarkan saja. Apa yang dikhawatirkan?”

Dalam Pasal 87 B Ayat (2) Perppu No 1/2013 disebutkan, peraturan pelaksana perppu harus ditetapkan paling lama tiga bulan sejak diterbitkan. Ayat (3) menyebutkan, selama peraturan belum ditetapkan, pembentukan panel ahli dan MKHK dilaksanakan oleh KY.

Tafsir semaunya

Taufiqurrohman minta agar MK tidak menggunakan tafsir semaunya terhadap perppu. Pendapat Hamdan, kata Taufiq, pendapat akademis, bukan yang tertera di perppu. Seharusnya Hamdan tidak boleh mengeluarkan pendapatnya karena perppu saat ini tengah diuji di MK.

”Pak Hamdan bisa kena pelanggaran etik. Itu pelanggaran berat. Dia kan sedang mengadili perppu, dia seharusnya tidak boleh berbicara karena pendapat hakim jadi ketahuan. Seharusnya hakim berpendapat di putusan,” katanya.

Wakil Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil menilai, konsep MKHK dalam Perppu MK tidak jelas. ”Ini lembaga pemeriksa, pengusul sanksi, atau forum pembelaan diri?” ujarnya.

Meskipun dua anggotanya mundur dan mendapatkan kritik, MK tetap melanjutkan pembentukan Dewan Etik. Bahkan, MK berencana membentuk semacam Dewan Etik khusus untuk mengawasi perilaku dan menjaga kode etik seluruh pegawai MK.

”Saya sedang membicarakan dengan Sekjen (MK). Ini berbeda dengan Dewan Etik untuk hakim. Perilaku apa pun yang dilakukan pegawai di bawah tidak harus melulu sekjen (yang menangani). Saya sedang berpikir untuk menata itu,” ungkap Hamdan.

Terkait Dewan Etik untuk pegawai, Taufiq tidak keberatan. ”Silakan saja. Kan tidak ada di perppu,” katanya.

Jangan tergesa-gesa

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin minta MK dan KY tidak tergesa-gesa membentuk MKHK ataupun Dewan Etik karena perppu tentang MK belum dibahas DPR. ”Perppu masih belum matang, masih harus disikapi oleh DPR. Apakah diterima atau ditolak,” katanya.

Lukman memahami tujuan MK membentuk Dewan Etik untuk mengantisipasi jika perppu ditolak DPR. Namun, pembentukan Dewan Etik justru menimbulkan persengketaan dengan KY dan tidak sehat.

Sementara itu, gugatan terhadap salah satu hakim konstitusi, Patrialis Akbar, di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK ada di tahap mendengarkan pendapat saksi ahli. ”Rabu depan, kami akan mendengarkan pendapat ahli hukum tata negara Saldi Isra,” kata Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bahrain.

Gugatan diajukan terkait pencalonan dan penunjukan Patrialis menjadi hakim konstitusi yang tidak transparan dan tidak partisipatif seperti digariskan Pasal 19 UU MK. (ANA/NTA/RYO)