Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2013, 13:09 WIB
M Fajar Marta

Penulis


KOMPAS.com — Sepandai-pandai aktor beraksi dan berakting, pasti salah juga. Selihai-lihainya koruptor mencuci uang, pasti terdeteksi juga. Mulai dari pejabat Kantor Pajak Bahasyim Assifie yang mencuci uangnya dengan berinvestasi dalam berbagai produk reksadana hingga Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui perusahaan yang bergerak di bidang jasa, semuanya terkuak.

Tonggak penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi mulai terpancang sejak kasus Bahasyim tahun 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun-tahun sebelumnya, UU TPPU bisa dibilang tidur nyenyak alias tidak pernah digunakan.

Setelah kasus Bahasyim, pasal TPPU makin kerap digunakan. Apalagi, pada tahun yang sama, terbit UU No 8/2010 sebagai penyempurnaan dari UU No 24/2003 dan UU No 15/2002 tentang TPPU. Dalam UU No 8/2010, pihak yang bisa menyidik perkara TPPU diperluas.

UU ini juga lebih gamblang mengatur asas pembuktian terbalik. Dalam TPPU, beban pembuktian bukan berada pada penegak hukum, melainkan pada terdakwa. Jika terdakwa tidak bisa menjelaskan asal-usul harta kekayaannya secara logis, patut diduga kekayaannya berasal dari hasil korupsi.

Dari berbagai kasus pencucian uang, secara umum pelaku memakai tiga modus, yakni penempatan (placement), transaksi berlapis-lapis (layering), dan penggabungan dengan bisnis sah (integration). Indikasi pencucian uang lainnya adalah tidak memasukkan aset itu ke dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

Ada beberapa placement dalam pencucian uang, antara lain menyimpan uang dalam rekening bank, menyimpan barang berharga dalam safe deposit box, serta membeli properti atau mobil mewah mengatasnamakan orang lain.

Dalam layering, koruptor biasanya melakukan transfer, penarikan, pemindahbukuan dengan frekuensi tinggi dan berulang-ulang agar hasil korupsi tidak mudah terlacak.

Dalam integration, hasil korupsi ditanamkan atau diinvestasikan dalam perusahaan atau bisnis sah dengan tujuan hasil kekayaannya seolah-olah berasal dari sumber yang halal.

Untuk kasus Bahasyim, modus yang digunakan placement, layering, dan integration sekaligus. Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh tersebut menaruh dananya ke dalam sejumlah rekening atas nama istri dan dua anaknya. Uang lalu ditransfer dan diputar-putar di antara rekening-rekening itu hingga transaksinya mencapai 304 kali dengan nilai Rp 885 miliar.

Bahasyim juga menaruh dana dalam sejumlah reksadana. Total kekayaan Bahasyim mencapai Rp 60 miliar, jauh di atas pendapatannya sebagai pegawai Pajak. Bahasyim yang terjerat kasus gratifikasi ini dijerat dengan Pasal 3 Huruf a UU No 25/2003 jo UU No 15/2002.

Tahun 2011, tercatat dua kasus pencucian uang atas nama Gayus HP Tambunan dan Malinda Dee. Gayus, pegawai pajak yang saat itu berusia 32 tahun, kedapatan menyimpan lembaran uang senilai 659.800 dollar Australia dan 9,68 juta dollar Singapura dalam safe deposit box. Selain uang, juga ada 31 keping logam mulia yang masing-masing seberat 100 gram. Pegawai pajak golongan III yang terjerat dalam kasus gratifikasi dan pemeriksaan pajak PT Surya Alam Tunggal ini dikenakan Pasal 3 Ayat 1 UU No 25/2003 karena menempatkan (placing) uang yang diduga berasal dari korupsi.

Adapun Malinda melakukan layering dengan membukukan 117 transaksi senilai Rp 27 miliar dan 2 juta dollar AS. Layering dilakukan dengan menggunakan rekening suami, adik kandung, dan adik ipar. Mantan Relationship Manager Citibank ini juga melakukan integration dengan menempatkan uang di perusahaannya, yakni PT Exclusive Jaya Perkasa.

Lebih canggih

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Mantan Kakorlantas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo (dua kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Djoko Susilo divonis 18 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korlantas Mabes Polri.

Selanjutnya, tahun 2012, kasus pencucian uang dilakukan dua pegawai pajak, yakni Dhana Widyatmika dan Herly Isdiharsono, dengan modus yang cukup canggih. Lelaki yang saat itu berumur 38 tahun ini melakukan placement dengan berinvestasi pada reksadana. Ia juga membeli tanah dan properti senilai puluhan miliar, membeli logam mulia seberat 1.100 gram, dan menyimpan dana Rp 11,4 miliar dan 302.189 dollar AS.

Modus integration dilakukannya dengan membeli properti bekerja sama dengan PT Bangun Persada Semesta dan kendaraan roda empat yang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo 88 yang didirikannya.

Puncak penerapan pasal pencucian uang sejauh ini terjadi tahun 2013. Sejumlah nama besar yang terjerat kasus korupsi, seperti Irjen Djoko Susilo dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dikenakan pasal pencucian uang. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga dikenakan pasal pencucian uang dalam proses penyidikan oleh KPK saat ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com