Masalah lain muncul ketika yang didengungkan TNI adalah soal profesionalisme yang berarti berkaitan dengan sistem pembinaan karier yang adil dan menghargai prestasi.
Hari Prihartono dari Propatria mengatakan, sistem kedekatan ini merusak pembinaan karier atau merit system. Kriteria untuk seseorang menjadi jenderal menjadi rancu, antara kemampuan protokoler, administrasi, dan substansi plus kedekatan, atau kemampuan lapangan dan mengatasi peperangan.
Menurut dia, asal kata ajudan dari bahasa Perancis, yaitu Aide de camp—pembantu di barak, kriteria yang dibutuhkan adalah petugas administrasi.
”Di Perancis, ajudan itu bukan prajurit tempur atau yang jago di ilmu militer, tetapi yang jago di bidang ekonomi atau sosial. Selesai dari ajudan, mereka ke tugas lain yang sesuai kompetensinya itu,” kata Hasanuddin.
Hari mengatakan, di atas kertas selalu disebutkan kalau militer Indonesia itu terintegrasi antara darat, laut, dan udara. Di sisi lain, ada kriteria ancaman dan geopolitik. Ia mencontohkan, belakangan ini ada penekanan pada kemaritiman.
Hal ini, menurut dia, harus menjadi kriteria dalam memilih perwira tinggi untuk menduduki jabatan strategis. Ketika presiden menentukan jenis ancaman serta strategi untuk mengatasinya ditinjau dari kapasitas anggaran dan kemampuan, untuk mencapainya, diperlukan pelaksana teknis. Pelaksana ini di antaranya jajaran teras di TNI.
”Oleh karena itu, jenderal- jenderal yang dipilih harus jelas punya kapabilitas dan track record yang menunjang jabatannya,” kata Hari.
DPR dan Menhan
Berantakannya turunan antara kebijakan politik dan pelaksanaannya ini, menurut Hari, secara tidak langsung tecermin dari hubungan antara DPR dan eksekutif, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI. Ketidakjelasan turunan antara strategi politik presiden dan teknis militer membuat ada ruang-ruang yang dinegosiasikan.
Menurut Hari, hal ini membuat eksekutif terlalu didikte oleh parlemen. Salah satu contoh nyata adalah uji kelayakan Panglima TNI. Padahal, soal strategi pertahanan, pengembangan kekuatan pertahanan seharusnya sudah jadi kesepakatan bersama yang permanen dan bertahan melewati rezim.
Hasanuddin juga melihat, buruknya merit system terlihat dari proses pemilihan Panglima TNI yang tergesa-gesa. Contoh mutakhir adalah Jenderal Moeldoko yang diajukan menjadi Panglima TNI hanya dua bulan setelah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Hal ini, menurut Hasanuddin, sebagai masalah sistem, bukan personal. Untuk membuat sistem yang bagus dan menjadi pemimpin yang matang, minimal dibutuhkan masa tugas dua tahun untuk kepala staf.
Dalam hal karier ajudan juga, menurut dia, harus ada sistem yang baku untuk perekrutan dan kejelasan antara kedekatan dan kemampuan untuk pengembangan karier perwira hingga perwira tinggi.
Perbaikan sistem pembinaan karier TNI ini tentunya juga bukan hanya kepentingan internal TNI semata. Sebagai pemilik TNI, rakyat berhak mendapatkan jenderal yang tidak hanya bisa mengatasi ancaman kontemporer yang kian kompleks, tetapi juga harus bisa mengubah ancaman menjadi keunggulan bangsa. (Edna C Pattisina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.