Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Negara Preman

Kompas.com - 17/09/2013, 10:30 WIB

Oleh: R William Liddle

The Act of Killing, tindakan pembunuhan, film dokumenter baru tentang pembantaian massal 1965-1966 di Indonesia, sedang ditayangkan di seantero Amerika Serikat.

Pengambilan gambar di Indonesia dilakukan antara 2005 dan 2009. Saya menonton di Columbus, di bioskop dekat kampus Ohio State University, terdorong oleh perhatian pengamat politik dan film yang makin meningkat.

The Act of Killing diciptakan produser muda, Joshua Oppenheimer, yang berwarga negara Amerika dan Inggris, tetapi fasih berbahasa Indonesia. Film itu menggambarkan, melalui mata sejumlah pelaku di Medan, betapa kejam dan sadis tindakan orang antikomunis zaman itu. Namun, klaim utamanya adalah pelaku tersebut, dan penerus mereka, masih berkuasa hingga sekarang.

Reaksi pertama saya sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik Indonesia adalah jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisis kontemporernya. Namun, setelah direnungkan, saya pun harus mengakui kemampuan Oppenheimer membuktikan betapa kuat pengaruh segi buruk Orde Baru pada Indonesia masa kini.

Distorsi besar

Pertama, The Act of Killing jelas merupakan distorsi besar terhadap sejarah yang sebenarnya. Yang paling mengecewakan, penonton sama sekali tak diberi tahu tentang politik Indonesia sebelum 1 Oktober 1965 tatkala Partai Komunis Indonesia menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan RRC.

Lagi pula, PKI adalah calon kuat dan pesaing utama tentara menggantikan rezim Demokrasi Terpimpin yang dikuasai Presiden Soekarno. Sayangnya, kepada para penonton hanya disajikan kalimat singkat pada adegan awal yang mengklaim bahwa Pemerintah Indonesia digulingkan tentara pada 1965. Implikasinya: Demokrasi Terpimpin merupakan pemerintahan yang sah.

Selain membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang, saya menyaksikan langsung apa yang terjadi di Sumatera Utara pada tahun 1962-1964 ketika saya tinggal di Pematang Siantar, tempat saya mengumpulkan bahan- bahan untuk disertasi S-3 saya. Dalam rangka itu, saya mengikuti kegiatan semua partai politik dan organisasi massa, termasuk PKI, dan mewawancarai pemimpinnya. Saya juga berkenalan dengan ratusan tokoh masyarakat dan warga biasa di seluruh Kabupaten Simalungun yang saya kunjungi berkali-kali.

Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.

Fakta ini kiranya berlaku di banyak daerah di Indonesia. Hal itu tentu tidak memaafkan perbuatan jahat yang kemudian dilakukan pemerintah Orde Baru bersama sebagian dari masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat bahwa rencana penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dirahasiakan pemimpin pucuk PKI dari anggotanya sendiri. Namun, sebuah penelusuran moral harus mulai dengan kenyataan itu, bukan dengan klaim kosong dan ahistoris bahwa Pemerintah Indonesia yang sah digulingkan tentara yang sewenang-wenang.

Perihal masa kini, klaim The Act of Killing yang paling keliru adalah Pemuda Pancasila beranggota 3 juta orang. Klaim fantastis seperti itu adalah hal biasa dalam dunia organisasi dan politik Indonesia, tetapi orang luar perlu bersikap skeptis. Dalam hal Pemuda Pancasila, meski angka tepat sulit ditemukan dalam penelitian sarjana, angka puluhan ribu mungkin lebih cermat ketimbang jutaan.

Tanpa angka akurat, penonton awam tak mungkin meletakkan peran Pemuda Pancasila dalam konteks yang benar. Namun, siapa pun yang menonton film ini sulit menghindari kesimpulan bahwa para politisi masa kini bersikap dan bertindak terlalu lunak kepada sebuah ormas yang membanggakan jati dirinya selaku kumpulan kaum preman.

Cukup memprihatinkan

Setidaknya empat pejabat menggantungkan diri melalui wawancara dengan Oppenheimer atau lewat pidato dan perbuatan yang direkam langsung. Mereka terdiri atas anggota DPRD tingkat provinsi mewakili Golkar, Gubernur Sumatera Utara, pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Wakil Presiden Republik Indonesia ketika filmnya dibuat. Semuanya memuji Pemuda Pancasila sebagai organisasi patriotik, telah mengabdi kepada bangsa, dan perlu dipelihara buat masa depan.

Apakah Indonesia merupakan negara preman sebagaimana digambarkan dalam film ini? Bagi saya, masih terlalu jauh menyimpulkan begitu, tetapi gejala-gejalanya cukup memprihatinkan.


R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, AS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Pendukung Prabowo-Gibran Bakal Gelar Aksi di Depan MK, Hasto: Percayakan Hakim, Jangan Ditekan-tekan

Nasional
Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak 'Online'

Pemerintah Akan Bentuk Satgas untuk Atasi Pornografi Anak "Online"

Nasional
Ketum Projo Nilai 'Amicus Curiae' Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Ketum Projo Nilai "Amicus Curiae" Tak Akan Pengaruhi Putusan Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, tapi Bisa jadi Pertimbangan Hakim

Nasional
Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Operasi Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh, Tersangka Terima Upah Rp 10 Juta per Kilogram

Nasional
Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Ramai Unjuk Rasa jelang Putusan MK, Menko Polhukam: Hak Demokrasi

Nasional
Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Dampingi Jokowi Temui Tony Blair, Menpan-RB: Transformasi Digital RI Diapresiasi Global

Nasional
Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Sekjen Gerindra Ungkap Syarat Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Pelaku Penyelundupan Sabu Malaysia-Aceh Sudah Beraksi Lebih dari Satu Kali

Nasional
Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi 'Online' di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Menkominfo Ungkap Perputaran Uang Judi "Online" di Indonesia Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Bareskrim Usut Dugaan Kekerasan oleh Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal

Nasional
Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Pengacara Korban Kaji Opsi Laporkan Ketua KPU ke Polisi Imbas Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Sindir Kubu Prabowo, Pakar: Amicus Curiae Bukan Kuat-Kuatan Massa

Nasional
OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi 'Online'

OJK Sudah Perintahkan Bank Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi "Online"

Nasional
Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Bareskrim Ungkap Peran 7 Tersangka Penyelundupan Narkoba di Kabin Pesawat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com