"Beliau jatuh dan rencananya tidak dilanjutkan rezim setelahnya," kata Anhar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (8/9/2013). Selain Palangkaraya, sebut Anhar, Soekarno menyebutkan Bogor dan Makassar sebagai alternatif lokasi baru ibu kota. Dari pilihan yang ada, Bogor kemudian tak dipilih karena terlalu dekat dengan Jakarta.
Sementara Makassar, lanjut Anhar, diakui unggul karena berada di tengah-tengah sebaran pulau di Indonesia. Namun, Makassar sebagai kota yang telah lama terbentuk. Soekarno, kata Anhar, ingin ibu kota baru adalah wilayah yang memang disiapkan untuk menjadi ibu kota.
"Bung Karno merancang membentuk kota baru untuk membentuk pusat pemerintahan," kata Anhar. Maka pilihan jatuh pada Palangkaraya. Saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957, berdasarkan penelusuran Kompas.com, Soekarno dalam pidatonya gamblang menyatakan keinginan menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota negara.
Namun, Anhar berpendapat pemindahan ibu kota butuh banyak biaya dan waktu lama. Sebagai contoh, Anhar menyebutkan pemindahan ibu kota Pakistan dari Karachi ke Islamabad butuh waktu 15 tahun. "Dan itu sangat mahal," tegas dia.
Soal visi negara
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo berpendapat, seharusnya wacana pemindahan ibu kota negara adalah bagian dari rencana penataan pemerintahan. "Saya melihat pemerintah kurang memiliki keseriusan menata pemerintahan yang visioner," ujar dia.
Arif mengatakan, sudah jauh hari ide itu ada. Menurut dia, Soekarno bahkan telah menimbang banyak sudut pandang ketika berpendapat Palangkaraya adalah pilihan tepat untuk pemindahan ibu kota.
Dalam konteks kekinian, Arif melihat pemindahan ibu kota juga akan menjadi solusi untuk memangkas transaksi politik, dengan adanya jarak antara pusat perekonomian dan pemerintahan. "Meminimalkan peluang transaksi," kata dia.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, Arif juga melihat pemindahan ibu kota ke Palangkaraya akan membuka peluang Indonesia mengatasi masalah kesenjangan kesejahteraan yang membayangi sekarang. Setidaknya, ketika ibu kota tak lagi di Jakarta dan Pulau Jawa, distribusi anggaran tak akan lagi terpusat di Jakarta dan Jawa.
Daripada sekadar membuka wacana lama seolah-olah belum ada, menurut Arif, yang harus dibangun sekarang adalah visi tentang masa depan Indonesia. Di dalamnya, kata dia, harus ada penyiapan serius langkah-langkah strategis yang harus ditata dari tapak pertama. Dimulai dari draf dan rencana tahapan, misalnya. "Ini bukan soal wacana atau ide siapa, pada akhirnya. Tapi ini soal visi menata negara," tegas dia.