“Begitu banyak dampak pilkada secara langsung dengan berbagai persoalan-persoalan yang nuansa permaian politik uangnya sangat kuat. Dalam hati saya terpikir, bagaimana kalau misalnya pilkada daerah tingkat dua kita coba kembalikan lagi ke DPRD,” ujar Akbar usai diskusi bertajuk Konsep Nusantara dalam Semangat Kemerdekaan NKRI di kantor Forum Dialog Nusantara (FDN), Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Dia mengatakan, Sila ke-4 Pancasila mengamanatkan demokrasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Karena itu, katanya, paling tepat jika pemilihan bupati/walikota tidak dilakukan langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD yang adalah wakil rakyat.
Soal kemungkinan adanya politik uang yang justru menyasar anggota DPRD dan tidak terawasi, ia menuturkan, memang harus ada mekanisme pengawasan yang jitu untuk menutup kemungkinan tersebut. Sebelumnya, pemerintah mendorong pelaksanaan pilkada dikembalikan ke sistem bukan pemilihan langsung.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai, banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi disebabkan besarnya ongkos politik pilkada. “Sampai saat ini, sudah 295 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Makanya, kami mengusulkan, kalau bisa, bupati dan wali kota tidak usah dipilih langsung sehingga tidak perlu biaya kampanye,” tutur Gamawan Juni 2013 lalu.
Pemerintah mengusulkan pilkada langsung hanya dilakukan di tingkat provinsi. Adapun bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD. Pendapat serupa pernah dimunculkannya saat menyikapi konflik akibat Pilkada Palopo.