KOMPAS.com
- Joko Widodo menjadi sosok penentu yang akan memainkan peranan dominan dalam percaturan Pemilihan Umum 2014, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Namun, apakah realitas politik akan memosisikan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden?

Dengan mempelajari dua kali survei kepemimpinan yang dilakukan Litbang Kompas, Desember 2012 dan Juni 2013, sulit menafikan kemunculan Joko Widodo (Jokowi) menjadi sosok yang dominan dalam wacana Pemilu 2014. Popularitas Jokowi untuk terpilih menjadi presiden jauh melampaui tokoh lainnya sekalipun ia belum menyatakan kesediaan mencalonkan diri.

Jika dilihat berdasarkan pertumbuhan basis massa (sebuah elemen penting dalam menduga tren kekuatan kandidat), hanya ada dua tokoh yang berpeluang besar menjadi presiden mendatang: Jokowi dan Prabowo Subianto. Survei menunjukkan, peningkatan popularitas keduanya linear dengan peningkatan perolehan partai politik. Adapun dukungan kepada tokoh dan partai lainnya relatif stagnan.

Dukungan terhadap Jokowi naik sebesar 14,8 persen selama enam bulan dan suara untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga naik 10,3 persen. Demikian juga dengan Prabowo, popularitasnya meningkat sebesar 1,8 persen dan dukungan kepada Partai Gerindra naik 6,9 persen selama enam bulan.KOMPAS Survei terbaru yang dilakukan Kompas menunjukkan tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012.

Sementara itu, meski popularitas Aburizal Bakrie (ARB) juga menunjukkan gejala naik, suara Partai Golkar cenderung stagnan, bahkan penolakan terhadap ARB menguat.

Melihat tren yang terjadi, sulit mengingkari bahwa Jokowi telah menjadi ”berkah” bagi PDI-P. Jika dicalonkan partai itu, kemungkinan besar Jokowi akan menjadi presiden mendatang dan PDI-P akan jadi kekuatan terbesar.

Melihat antusiasme yang tecermin dari hasil survei, per- gantian generasi kepemimpinan tampak sudah di depan mata. Namun, apakah Jokowi akan maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2014?

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Joko Widodo atau akrab dipanggil Jokowi, menjawab pertanyaan wartawan saat berkunjung ke Kantor Redaksi Kompas.com, Palmerah, Jakarta, Sabtu (31/3/2012).

Inilah pertanyaan yang sulit dijawab karena proses politik dapat menghasilkan realitas berbeda. Pertama, terkait dengan kendaraan politik. Posisi Jokowi yang bukan sebagai pengambil keputusan utama (ketua partai) membuatnya sangat bergantung pada kebijakan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jika Megawati maju sebagai capres, hampir tidak mungkin Jokowi maju meskipun dengan kendaraan partai lain mengingat kesantunan politik yang selama ini dijaganya.

Kemungkinan bagi Megawati untuk menggandeng Jokowi sebagai calon wakil presiden, meskipun terbuka peluang untuk menang, tidak terlalu menguntungkan Jokowi. Selain menepiskan terjadinya koalisi, terserapnya Jokowi ke dalam pekerjaan wakil presiden (wapres) akan mengurangi aksinya di panggung riil yang selama ini melesatkan popularitasnya. Dengan melihat kecenderungan ini, tampaknya pilihan untuk tetap menjadi Gubernur DKI akan dipertahankan, kecuali ada tekanan politik.

Bagi Megawati, tanpa didampingi Jokowi, tampaknya akan sulit memenangi pilpres meskipun suara untuk partainya naik signifikan. Resistansi masyarakat yang cukup tinggi terhadap Megawati akan menjadi batu sandungan terberat.

Jika Jokowi dicalonkan, peluang untuk mendapatkan dukungan terbesar, secara matematis, adalah ketika dipasangkan dengan Prabowo. Namun, resistansi yang membesar dapat menjadi hambatan bagi keduanya. Potensi dukungan yang membesar, tetapi dengan hambatan kecil, tampaknya lebih tergambar pada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (Lihat Grafik).

Jika Jokowi tidak dicalonkan sebagai presiden atau wapres, peluang paling besar untuk menjadi presiden ada pada Prabowo. Ia hampir tidak ada hambatan kendaraan partai, kecuali harus berkoalisi untuk pencalonannya. Langkah Prabowo hanya bisa terbendung jika tidak mendapatkan koalisi.

Dengan meniadakan faktor Jokowi, yang sangat diuntungkan berikutnya adalah Aburizal Bakrie. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, peluangnya akan lebih terbuka, terlebih jika dapat menghentikan peluang lawan dengan menyatukan koalisi besar ke kubunya.

Konvensi Demokrat

Proses politik juga akan sangat ditentukan oleh hasil konvensi capres Partai Demokrat. Apabila konvensi dapat memunculkan figur yang tepat, bukan tidak mungkin pertarungan papan atas harus dikalkulasi ulang. Dari nama-nama yang diundang ikut konvensi, sejauh ini hanya mantan wapres Jusuf Kalla (JK) yang masuk dalam lima besar.

KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO Jusuf Kalla saat menjadi pembicara pada acara Kompasianival di Skeeno Hall, Lantai 3, Gandaria City, Jakarta Selatan, Sabtu (17/11/2012.

Jika Demokrat memunculkan nama JK dan berhasil mendapatkan wakil yang tepat serta mampu menghimpun sejumlah partai koalisi, pertarungan paling ketat mungkin terjadi antara JK dan Prabowo—seandainya tanpa Jokowi. Pendukung Jokowi, yang kecewa dengan tidak majunya calon yang diharapkan, besar kemungkinan mengarahkan pilihan kepada kedua sosok itu. Keduanya mewakili gambaran karakteristik pemimpin yang dibutuhkan saat ini, yakni tegas, berani, dan cepat mengatasi masalah.

Kedua nama ini juga muncul dengan kuat dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam terhadap kalangan akademisi, pengusaha, LSM, dan unsur pimpinan media massa yang dilakukan Litbang Kompas di 10 kota besar.

Proses politik juga akan sangat ditentukan bagaimana wacana kehadiran Jokowi ke panggung politik nasional dibentuk. Sejauh ini ada dua pandangan berbeda. Pertama, menganggap kepemimpinan Jokowi belum cukup matang. Sebaiknya membuktikan dan menuntaskan dulu problem Jakarta. Pandangan ini cenderung mengerem Jokowi untuk masuk ke dalam putaran Pemilu 2014.

Kedua, menganggap bahwa langkah-langkahnya yang hampir dua periode memimpin Solo dan hampir setahun memimpin Jakarta telah cukup membuktikan kredibilitasnya untuk maju sebagai pemimpin nasional. Mereka juga berpandangan, problem Jakarta hanya dapat diselesaikan cepat jika ia diberi kekuasaan lebih tinggi.

Pandangan cukup santer juga disuarakan kalangan luar Jawa yang menginginkan Jokowi tidak hanya menjadi milik warga Jakarta dan kapabilitasnya sebaiknya bermanfaat untuk membereskan masalah nasional. Dalam dua kali survei, gelombang yang berpijak pada pandangan kedua tampaknya kian besar. Namun, politik itu penuh dinamika, semua bisa berubah. Penentuan capres nanti masih ditentukan hasil pemilu legislatif yang akan berlangsung pada April 2014. (Litbang Kompas)