Bestian Nainggolan/ Litbang Kompas

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengantar: Perhelatan pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun depan banyak dipandang sebagai sebuah tonggak penting perjalanan demokrasi negeri ini. Suksesi tahun 2014 menjadi titik signifikan memasuki era baru. Litbang Kompas menyelenggarakan sejumlah survei nasional untuk menjajaki aspirasi munculnya pemimpin nasional 2014. Hasil survei tersebut akan diturunkan dalam tiga tulisan selama tiga hari ke depan.

Melesatnya popularitas Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan dengan sosok lainnya mengindikasikan kian menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial.

Kesimpulan demikian tampak dari dua hasil survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden—calon pemilih dalam Pemilu 2014—yang terpilih secara acak di 33 provinsi.

Hasil survei menunjukkan, semakin besar proporsi calon pemilih yang jelas menyatakan pilihannya terhadap sosok pemimpin nasional yang mereka kehendaki. Sebaliknya, semakin kecil proporsi calon pemilih yang belum menyatakan pilihan dan semakin kecil pula proporsi calon pemilih yang enggan menjawab (menganggap rahasia) siapa sosok calon presiden yang ia harapkan memimpin negeri ini.

Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama: Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya.

Dibandingkan dengan survei pada Desember 2012, ruang gerak penguasaan ke-16 sosok "papan bawah" popularitas ini relatif stagnan, yang menandakan kecilnya peluang lonjakan mobilitas setiap sosok ke papan atas (lihat grafik).

Dari kelima sosok yang berada pada papan atas popularitas capres, kemunculan Jokowi sebagai generasi baru dalam panggung pencarian sosok pemimpin nasional menarik dicermati. Ia langsung menempati posisi teratas dengan selisih yang terpaut cukup jauh dengan keempat calon lain yang namanya sudah menasional selama ini.

Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012. Di sisi lain, tingkat penolakan responden terhadap dirinya tampak minim dan semakin kecil. Dari seluruh responden, yang secara ekstrem tidak menghendaki dirinya menjadi presiden hanya di bawah 5 persen.

Sebaliknya, saat ini basis dukungan terhadap Jokowi makin luas. Ia makin diminati oleh beragam kalangan, baik dari sisi demografi, sosial ekonomi, maupun latar belakang politik pemilih. Dari sisi demografi, misalnya, dukungan dari kalangan beragam usia, jenis kelamin, ataupun domisili responden Jawa maupun luar Jawa bertumpu kepadanya. Sosoknya juga populer tidak hanya bagi kalangan ekonomi bawah, tetapi juga kalangan menengah hingga atas. Ia pun diminati oleh beragam latar belakang pemilih partai politik, tidak hanya tersekat pada para simpatisan PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung.

Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik. Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya.

Karakter dan kompetensi Jokowi, sosok generasi baru dalam panggung politik nasional, sekaligus menjadi diferensiasi dirinya ketimbang capres lain pilihan responden. Jika mengamati hasil survei, dukungan terhadap Prabowo, Aburizal, Megawati, dan Jusuf Kalla sejauh ini masih berkutat dan terpilah-pilah pada kalangan terbatas saja.

Dukungan terhadap Prabowo, misalnya, belum merata. Dari kedua hasil survei, memang tampak ada peningkatan dukungan kepada Prabowo, meski belum terlalu drastis. Namun, sejauh ini peningkatan dukungan itu belum menyentuh setiap latar belakang sosial, ekonomi, maupun politik responden. Dukungan kepadanya masih tampak dominan pada mereka yang berjenis kelamin laki-laki dan mayoritas simpatisan Gerindra. Bagi para pemilihnya, modal kepribadian seperti karakter ketegasan dan kegagahan yang menjadi daya pikat paling menonjol dimiliki Prabowo.

Sejauh ini, basis dukungan publik kepada Aburizal juga masih bertumpu kepada para simpatisan Golkar. Dua hasil survei memang menunjukkan adanya peningkatan dukungan terhadap dirinya. Namun, di sisi lain terjadi pula peningkatan penolakan responden yang sangat signifikan. Alasan terbesar masih berputar pada kasus Lapindo dan anggapan kurang keberpihakan kepada rakyat. Sebaliknya, bagi para pendukungnya, sosok Aburizal diidentikkan positif sebagai sosok pengusaha kaya yang kerap turun langsung membantu masyarakat.

Keterbatasan dukungan publik juga tampak pada Megawati dan Jusuf Kalla. Terhadap Megawati, umpamanya, mayoritas hanya oleh simpatisan PDI-P. Resistensi terhadap dirinya pun tampak besar dengan alasan hasil kepemimpinannya di masa lampau dan faktor jenis kelamin. Sementara dukungan terhadap Jusuf Kalla masih didominasi responden dari luar Jawa dan berlatar belakang simpatisan Golkar.