Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/08/2013, 09:31 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Pengamat terorisme, Al Chaidar, menyatakan, pelaku penembakan terhadap polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, pekan lalu, adalah teroris. Menurutnya, hal itu berdasarkan jenis kaliber peluru yang digunakan pelaku.

"Pelaku menggunakan jenis peluru berkaliber 9,9 milimeter. Peluru itu biasanya menggunakan pistol jenis FN," kata Al Chaidar, kepada Kompas.com, Selasa (20/8/2013).

Selain pistol jenis FN, menurutnya, ada sejumlah senjata yang biasa digunakan para teroris dalam setiap aksinya, seperti AK 47 dan AK 49. Al Chaidar mengatakan, senjata jenis itu relatif fleksibel dan mudah untuk di bawa ke mana saja. 

Hal senada disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie dan anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala. Menurut Ronny, setiap tindakan teror yang ditujukan kepada petugas apa pun bentuknya dilakukan oleh kelompok teroris. Namun, sampai saat ini polisi belum dapat memastikan dari kelompok mana para pelaku itu berasal.

"Sampai saat ini masih didalami," kata Ronny di sela-sela kegiatan penyerahan penghargaan Kak Seto Award bagi Ipda (anumerta) Kushendratna di Jakarta.

Sementara itu, Adrianus mengatakan, setidaknya ada tiga faktor yang menyatakan bahwa pelaku penembakan dilakukan kelompok teroris. Pertama, dilihat dari modus kerja dan pembuatan bom yang sama dilakukan oleh kelompok teroris. Kedua, pelaku potensial (potential player) mengetahui cara penggunaan senjata dan membuat bom yang baik. Hal itu, menurutnya, hanya dapat diperoleh karena telah menjalani proses pelatihan (i'dad) sebelumnya.

Ketiga, kata Adrianus, dilihat dari motif penembakan yang dilakukan terhadap polisi. "Siapa benci terhadap polisi? Siapa yang menyatakan bahwa darah polisi itu halal. Banyak yang benci polisi, ya pelaku kejahatan, tapi enggak (banyak) yang punya akses terhadap senjata. Cara gerebek beda." paparnya.

Sumber senjata

Al Chaidar menambahkan, senjata yang digunakan oleh para teroris itu biasanya berasal dari Filipina. Senjata itu diselundupkan ke Indonesia melalui jalur Tawau, Sebatik, dan Manado.

Untuk membeli senjata-senjata tersebut, ada sejumlah cara yang dilakukan para teroris untuk mengumpulkan dananya, mulai dari mengumpulkan hingga kas organisasi yang berasal dari setoran anggota. Setoran itu biasanya diperoleh dengan cara merampok (fa'i).

Bukan balas dendam

Meski seolah aksi teroris selama ini ditujukan kepada aparat kepolisian, menurut Al Chaidar, hal itu bukan ditujukan untuk membalas dendam. Ia berpendapat, aksi penembakan polisi itu murni atas dasar perintah pimpinan pelaku. Selain itu, ada doktrin bahwa polisi, khususnya Densus 88, layak dibunuh.

"Dalam pemahaman mereka, tidak diperbolehkan jihad atas dasar balas dendam," katanya.

Sebelumnya, Aipda Kushendratna ditembak orang tak dikenal di Jalan Graha Raya, tepat di depan Masjid Bani Umar, Kelurahan Perigi Baru, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat (16/8/2013) pukul 22.00. 

Dengan mengendarai mobil Toyota Avanza warna hitam, tim Buser memburu pelaku. Namun, pengejaran itu menyebabkan mobil tim Buser terperosok ke got di pinggir jalan. Pelaku kemudian menembak sopir Avanza (Bripka Maulana) yang baru keluar dari mobil. Setelah itu, sempat terjadi baku tembak. Pelaku kemudian melarikan diri dengan merampas sepeda motor milik warga bernomor polisi B 6620 SFS.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Ini Tema Debat Pilpres 2024, Ada Pajak Karbon hingga 'Post-COVID Society'

Ini Tema Debat Pilpres 2024, Ada Pajak Karbon hingga "Post-COVID Society"

Nasional
KPU: Debat Capres Digelar 3 Kali, Cawapres 2 Kali

KPU: Debat Capres Digelar 3 Kali, Cawapres 2 Kali

Nasional
Bahas Etika, Sudirman Said Bakal Bagikan Buku Karyanya ke Tiga Pasangan Capres-Cawapres

Bahas Etika, Sudirman Said Bakal Bagikan Buku Karyanya ke Tiga Pasangan Capres-Cawapres

Nasional
Prabowo-Gibran Belum Turun Kampanye, TKN Yakin Tak Pengaruhi Elektabilitas

Prabowo-Gibran Belum Turun Kampanye, TKN Yakin Tak Pengaruhi Elektabilitas

Nasional
Gandeng Baznas RI, BPJS Ketenagakerjaan Serahkan Bantuan Kemanusiaan untuk Warga Palestina

Gandeng Baznas RI, BPJS Ketenagakerjaan Serahkan Bantuan Kemanusiaan untuk Warga Palestina

Nasional
Nawawi Sebut KPK Monitor Anggaran Pemilu Senilai Rp 70,5 Triliun Lebih

Nawawi Sebut KPK Monitor Anggaran Pemilu Senilai Rp 70,5 Triliun Lebih

Nasional
Timnas Amin: Pak Prabowo Luar Biasa, Sudah Bisa Joget 'Gemoy'

Timnas Amin: Pak Prabowo Luar Biasa, Sudah Bisa Joget "Gemoy"

Nasional
KRI dr Radjiman Wedyodiningrat-992 Siap Berangkat Misi Kemanusiaan untuk Bantu Korban di Gaza

KRI dr Radjiman Wedyodiningrat-992 Siap Berangkat Misi Kemanusiaan untuk Bantu Korban di Gaza

Nasional
Data Pemilih Diduga Bocor, Sudirman Said Minta KPU Lebih Hati-hati

Data Pemilih Diduga Bocor, Sudirman Said Minta KPU Lebih Hati-hati

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Diduga Terima Gratifikasi dari Eks Menteri KKP Edhy Prabowo

Hakim Agung Gazalba Saleh Diduga Terima Gratifikasi dari Eks Menteri KKP Edhy Prabowo

Nasional
Timnas Amin Sebut Gimik dan Gagasan Sama-sama Diperlukan

Timnas Amin Sebut Gimik dan Gagasan Sama-sama Diperlukan

Nasional
Pose Anies-Muhaimin Paling Beda di Surat Suara, Sudirman Said: Kebetulan, Siapa Tahu Jalan Kemenangan

Pose Anies-Muhaimin Paling Beda di Surat Suara, Sudirman Said: Kebetulan, Siapa Tahu Jalan Kemenangan

Nasional
TKN Sebut Kehadiran Gibran sebagai Representasi Anak Muda di Pemilu Jadi Sejarah

TKN Sebut Kehadiran Gibran sebagai Representasi Anak Muda di Pemilu Jadi Sejarah

Nasional
TKN: Prabowo Disebut 'Gemoy' Itu Anugerah

TKN: Prabowo Disebut "Gemoy" Itu Anugerah

Nasional
Hakim Agung Gazalba Kembali Ditahan KPK, Kali Ini Kasus TPPU dan Gratifikasi

Hakim Agung Gazalba Kembali Ditahan KPK, Kali Ini Kasus TPPU dan Gratifikasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com