KOMPAS.com
- Sembilan pilar menopang struktur Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat di Jakarta. Dalam langgam arsitektur Romawi, tidaklah lazim mendirikan pilar berjumlah ganjil. Akan tetapi, pilar-pilar itu melambangkan sembilan hakim konstitusi.

Menurut undang-undang, Mahkamah Konstitusi (MK) memang terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Tiga hakim diajukan DPR, tiga hakim lainnya diajukan Presiden, dan tiga orang lainnya diajukan Mahkamah Agung.

Sambangilah Gedung MK, maka dapat Anda rasakan aura berwibawa dari bangunan berpilar sembilan itu. Kemegahan Gedung MK begitu terasa, terutama apabila dibandingkan dengan gedung peradilan lain. Positifnya, gedung itu merakyat tanpa pagar di sisi depan. Persidangan di MK juga begitu berbeda. Persidangan dimulai tepat waktu. Informasi jelas sehingga persidangan lebih transparan. Singkat cerita, MK memperlihatkan titik terang bagi masa depan hukum di Indonesia.

Akhir-akhir ini, MK hangat dibicarakan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 tertanggal 22 Juli.

Menyikapi keppres itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pukat FH UGM, Elsam, LBH Jakarta, LBH Padang, Indonesia Legal Roundtable (ILR), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menggabungkan diri dalam Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi.

Namun, pertama-tama, pahamilah niat kuat koalisi untuk menyelamatkan MK. Jadi, fokus utama koalisi bukan menolak Patrialis, mantan Menteri Hukum dan HAM. Selama ini, anggota koalisi konsisten mengkritisi pemilihan hakim MK.

Meski tak terelakkan, independensi MK dipertanyakan pasca-bergabungnya Patrialis. Namun, Patrialis telah menegaskan, ”Tidak akan terpengaruh, baik oleh kepentingan partai atau orang per orang. Itu komitmen saya. Kalau soal asal parpol, saya tak sendiri. Hakim MK yang lain ada yang dari parpol, tetapi kenapa tak dipersoalkan.”

Ketika diminta pendapatnya, Ketua MK Akil Mochtar mengatakan, MK dalam posisi menerima. Wewenang untuk memilih berada di pemerintah.

Bicara independensi MK, tentunya dapat diperdebatkan. Namun, peneliti ILR, Erwin Natosmal Oemar, menegaskan, Presiden melanggar Pasal 19 UU MK No 24/2003 dalam pengangkatan Patrialis.

”Pelanggarannya jelas sekali karena calon hakim konstitusi (menurut penjelasan Pasal 19) harus dipublikasikan di media cetak dan elektronik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat,” ujar dia.

Bukankah UU harus dijalankan? Tidak seorang warga negara—bahkan Presiden—boleh mengabaikannya. Presiden juga terikat sumpah presiden sesuai Pasal 9 Ayat 1 UUD 1945 untuk ”menjalankan UU dan peraturan dengan selurus-lurusnya”.

Lagi pula, sungguh ironis apabila Republik ini mengangkat hakim konstitusi dengan mengabaikan perintah UU. Justru, kita mengasihani hakim konstitusi bersangkutan karena keberadaannya selalu akan diungkit di kemudian hari.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin berargumen, tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga. ”Sehingga model dan tata caranya diserahkan kepada Presiden, DPR, dan MA,” ujar Amir.

Akan tetapi, Koordinator Pemantau Kebijakan Elsam Wahyudi Djafar mengingatkan, justru tahun 2008, Dewan Pertimbangan Presiden membentuk panitia seleksi yang dipimpin Adnan Buyung Nasution untuk menyeleksi tiga posisi hakim konstitusi. ”Kita mengalami kemunduran bila tidak menyeleksi sebaik dulu,” kata Wahyudi.

Somasi terhadap Presiden telah dilayangkan koalisi pada Selasa (6/8/2013). ”Presiden harus mengambil tindakan cepat untuk menjaga kewibawaan Presiden dan Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua Badan Pengurus YLBHI Alvon Kurnia Palma.

Wibawa MK sedang dipertaruhkan. Selama ini, MK dielu-elukan sebagai model terbaik dari peradilan di negara hukum ini, tetapi justru kini transparansi pemilihan hakim konstitusi sedang dipertanyakan.

Bagi peneliti ICW, Febri Diansyah, justru jalan terbaik adalah dengan gugatan tata usaha negara terhadap Keppres No 87/2013. Ini bukan sekadar persoalan mengangkat seorang hakim konstitusi, tetapi memastikan ”sembilan pilar” penopang MK tetap tegak, jangan sampai runtuh.