Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Jilat Ludah Sendiri dengan Angkat Patrialis Jadi Hakim MK

Kompas.com - 11/08/2013, 17:39 WIB
Deytri Robekka Aritonang

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianggap menjilat ludahnya sendiri dengan mengangkat mantan Menteri Hukum dan HAM (Menhuk dan HAM) Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi. Presiden pernah mengevaluasi dan mengganti Patrialis sebagai menteri. Hal itu berarti Patrialis pernah gagal menjalankan tugasnya. Koordinator Eksekutif Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menegaskan hal itu di Kantor Indonesia Corruption Watch di Jakarta, Minggu (11/8/2013).

"Logikanya kalau SBY sudah mengganti Patrialis artinya sudah talak 3 (putus hubungan) antara Presiden dan Patrialis. Sekarang Patrialis diangkat lagi jadi hakim konstitusi. Ini seperti membiarkan Presiden menjilat ludah sendiri," kata Haris.

Ia mengingatkan beberapa kegagalan Patrialis ketika menjabat sebagai Menhuk dan HAM. Di antaranya, kata dia, pemberian remisi hingga empat kali kepada terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Polycarpus.

Menurutnya, beberapa kebijakan Patrialis tidak sensitif terhadap HAM. Hal itu, menurut Haris, termasuk pengakuan Patrialis hanya pada enam agama di Indonesia. "Patrialis adalah orang yang cenderung anti-keberagaman keberagamaan. Dia tidak mengakui WNI (warga negara Indonesia) lain yang menganut agama di luar enam agama itu," ujarnya.

Ia mengkhawatirkan, jika Patrialis menjadi hakim konstitusi, maka putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terkait dengan HAM tidak akan memihak pada penegakan HAM.

Dia menduga, ada kesepakatan politik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan menunjuk Patrialis yang merupakan politisi PAN sebagai hakim konstitusi. Namun jika memang demikian, maka seharusnya PAN menurut Haris dapat menunjuk kadernya yang lain, yang lebih kompeten dan berintegritas, untuk diajukan kepada Presiden untuk dijadikan hakim konstitusi. "Etika politik PAN saya pertanyakan. Semestinya PAN mengajukan kader lain," ujar Haris.

Untuk itu, dia meminta Presiden membatalkan keputusan yang telah dikeluarkannya terkait pengangkatan Patrialis.

Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013, yang memberhentikan dengan hormat Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi. Presiden lalu mengangkat kembali Maria. Selain itu, diangkat juga Patrialis untuk menggantikan Achmad. Dalam Pasal 18 Undang-Undang MK diatur bahwa hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, masing-masing tiga orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com