”Mudico” ergo sum:
karena aku mudik, maka aku ada selaras dengan pernyataan Descartes: Cogito ergo sum: karena aku berpikir, maka aku ada. Ini terinspirasi dari kicauan (tweet) Ulil Abshar-Abdalla. Pertanyaannya, mengapa mudik begitu penting buat eksistensi seorang perantau?

Mudik adalah tradisi tahunan yang berlangsung masif dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Inilah momentum untuk merekonsiliasi beragam keinginan dan ambisi meraih masa depan di negeri rantau dengan kerinduan masa lalu di kampung halaman. Keduanya bertemu dalam satu titik untuk saling menyapa, saling membagi, dan bahkan saling mengevaluasi.

Dalam tradisi mudik, setiap orang akan larut dengan emosional etnik yang tidak bisa dikalahkan dengan iming-iming apa pun. Dengan mudik, setiap orang akan merasakan betapa kampung halaman jauh lebih mendamaikan ketimbang negeri rantau yang penuh masalah.

Dalam sosiologi agama, mudik adalah penemuan kembali (reinventing) atau bahkan penyegaran kembali (refresh) jati diri yang ingin menyandarkan sebuah kerinduan ke pangkuan ibu kandung sekaligus melepas kepenatan hidup. Tidak terlalu berlebihan apabila mudik digambarkan sebagai perjalanan kultural sekaligus spiritual yang dapat menuntun setiap perantau ke sebuah tempat untuk berkontemplasi (mudzakarah) dan mengevaluasi diri (muhasabah) dari serangkaian kesibukan.

Mudik bergerak secara masif tanpa dibelenggu oleh latar belakang ideologi agama apa pun. Ia tidak dimonopoli oleh perantau Muslim an sich, yang karena telah menjalankan puasa dan akan menghadapi hari raya Idul Fitri. Namun, merujuk terminologi beyond belief-nya Robert N Bellah, mudik menuntun setiap perantau untuk merasakan kerinduan asasi di tanah kelahiran atau kampung halaman, yang telah menjadi arena kepublikan atau ruang publik untuk saling bersimpati dan berempati secara dinamis dan dialektis.

Mudik dan kepublikan

Diskursus tentang kepublikan terkait erat dengan konsep kultural manusia. Hannah Arendt dalam buku The Public and the Private Realm menyebutkan, kepublikan atau ruang publik adalah ruang ”penampakan” tempat orang berinteraksi dengan bertindak dan berbicara. Untuk membangun suasana interaktif yang mengakomodasi tindakan dan wicara, mudik berperan signifikan merealisasikan pemenuhan kerinduan kepada siapa pun untuk diajak bertindak dan berbicara. Terutama bahasan yang berkaitan dengan kenangan masa lalu, bagian penting dalam proses rekam jejak seseorang.

Dalam hal membicarakan sesuatu yang relevan dengan masa lalu sekaligus bekal untuk masa datang, setiap orang tidak akan segan membingkai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial, sebagaimana ditegaskan Richard Rorty dalam buku Contingency, Irony and Solidarity. Tema tersebut akan membumbui setiap pertemuan apa pun dan dengan siapa pun tanpa harus dilingkupi karakter audiens yang dibatasi ideologi tertentu.

Kampung halaman sebagai arena publik akan selalu menegosiasikan batas-batas persoalan, baik yang dianggap tabu maupun lumrah, agar para perantau melaksanakan tugasnya mengemban misi masyarakat. Setidaknya, wejangan orangtua, guru, sanak saudara menjadi bahan evaluasi ketika para perantau kembali beraktivitas.

Perantau dapat dikatakan sebagai pewaris masyarakat kampung halaman yang banyak menitipkan harapan agar negara ini menjadi arena keberadaban. Jadi, mudik yang kini tengah berlangsung tidak lazim apabila hanya dimaknai sebagai sarana pamer keberhasilan. Mudik perlu dipahami sebagai recharge untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan di kampung halaman.

Secara filosofis, mudik serupa dengan puasa Ramadhan yang menjadi bulan membangkitkan kembali energi dalam beribadah ataupun bersosialisasi. Ini agar nilai-nilai keadilan dan solidaritas sosial menjadi salah satu pertimbangan dalam merumuskan suatu kebijakan.

Nilai transformatif

Perantau yang menjadi pelaku utama mudik harus memahami bahwa ritual pulang kampung tahunan ini mempunyai nilai transformatif yang luhur yang bisa mencerahkan cara pandang ketika kembali ke tempat kerja masing-masing. Maka, keadilan yang menjadi prinsip dasar dalam kehidupan harus diimplementasikan dengan baik.

Selain itu, solidaritas sosial yang menjadi penyangga utama ruang interaksi satu dengan yang lain perlu disematkan di beragam ruang kerja, agar antara satu dan yang lain bisa bertegur atas nama ”kebaikan dan saling mengingatkan untuk mengendalikan diri dari perbuatan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keadilan”.

Dalam hal ini, salah satu faktor perusak tatanan negara adalah nihilnya jiwa tepo sliro untuk bekerja sama dalam penegakan kebenaran. Yang banyak terjadi saat ini adalah kerja sama untuk berbagi hasil kejahatan. Bahkan, jika ada orang yang mau mengingatkan seseorang yang hendak berbuat jahat, dianggap sebagai musuh berbahaya.

Kondisi ini tentu sangat ironis dan menjadi bumerang upaya pemberantasan segala bentuk kejahatan. Sudah seharusnya, setiap orang terlibat secara sinergis untuk bahu-membahu mencegah dan memberangus praktik ini.

Jadi, mudik, secara esensial, selain dimaknai sebagai aspek ritual, perlu dimaknai pula sebagai momen spiritualitas yang berfungsi untuk membangkitkan sense of belonging melalui solidaritas sosial, yang sudah lama terbangun di kampung halaman. Setidaknya, nilai-nilai kearifan di kampung halaman menjadi sandaran hati untuk saling mengingatkan ke arah yang benar.

Dengan demikian, mudik yang menjadi sarana eksistensi perantau dan tempat peraduan untuk menunjukkan keadaan dirinya kepada ibu kandung halamannya akan memberikan manfaat besar bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Setidaknya, proses mudik dengan melalui segala macam kesulitan bisa menjadi harapan untuk banyak orang.

Inilah kiranya, model ”mudico” ergo sum yang perlu dikembangkan dan disadari sebagai ruang untuk bertransformasi menuju keberadaban.

(Fathorrahman, Dosen Sosiologi pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta)