Namun, nyatanya, di "rumah pertobatan" itu perilaku para narapidana (napi) belum tentu menjadi lebih baik. Kasus-kasus yang terjadi di lapas belakangan ini menjadi bukti. Para penghuni lapas justru berubah menjadi lebih anarkistis. Napi narkoba tetap bisa menggunakan dan berbisnis barang haram itu. Napi koruptor tetap hidup mewah. Mereka terjebak dengan rutinitas negatif di balik jeruji besi itu.
Akhirnya, tidak pernah ada rasa penyesalan atau menimbulkan efek jera untuk napi. Kemelut lapas di tanah air pun seolah tak ada habisnya.
Kasus yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir yaitu pertama, kericuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, pada Kamis (11/7/2013). Warga binaan tiba-tiba bertindak anarkistis sehingga membakar sebagian sisi gedung lapas. Dalam keadaan "membara" mereka kemudian beramai-ramai melarikan diri. Pemicu kemarahan itu disebut karena listrik dan air yang padam sejak lama. Warga binaan merasa tak mendapat fasilitas yang layak.
Masalah di Lapas Tanjung Gusta dinilai begitu kompleks hingga akhirnya memicu kemarahan para narapidana. Mereka juga harus berebut fasilitas karena kapasitas lapas telah melebihi kuota.
Anggota Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Otto Nur Abdullah, mengatakan, pemerintah harus memenuhi hak dasar para narapidana maupun tahanan di lapas. Hak dasar itu antara lain meliputi kesehatan, penempatan ruang, dan kenyamanan. Hak ini sama seperti hak dasar manusia pada umumnya, tetapi bagi narapidana dibatasi oleh putusan pengadilan.
"Walaupun ia tahanan, haknya sebagai warga negara tetap harus dipenuhi," kata Otto.
"Pemerintah harus merekonstruksi seluruh lapas di Indonesia dengan mempertimbangkan hak-hak dan masa depan mereka (narapidana)," lanjutnya kemudian.
Tak kurang satu pekan kemudian, tahanan kembali kabur. Kali ini, dua tahanan di rumah tahanan Badan Narkotika Nasional, Palembang, Sumatera Barat, Selasa (16/7/2013). Keesokannya, Rabu (17/7/2013), sebanyak 12 tahanan di Rumah Tahanan Klas II A Batam, Kepulauan Riau, juga melarikan diri. Tahanan kasus narkotika itu berhasil menjebol pintu rutan.
Terakhir, kasus narapidana bertindak anarkistis kemudian terjadi di Lapas Klas II B Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (3/8/2013). Sejumlah narapidana menjebol gerbang Portir II dan berusaha melarikan diri. Namun, mereka gagal kabur karena tertahan di pintu Portir I.
Bertolak belakang dengan kondisi kasus Tanjung Gusta dan sejumlah lapas yang memicu kemarahan para napinya, di Lapas Cipinang, seorang terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman justru mendapat fasilitas khusus dengan mudahnya. Teman dekat Freddy, Vanny Rossyanne, mengungkapkan, ada ruangan khusus di Lapas untuk bisa berduaan dengan Freddy.
Vanny juga menyebutkan, Freddy masih dapat mengendalikan bisnisnya dari dalam Lapas. Tahun 2012 lalu, Freddy diketahui mendatangkan pil ekstasi dalam jumlah besar dari China. Ia masih bisa mengorganisasi penyelundupan 1.412.475 pil ekstasi dari China dan 400.000 ekstasi dari Belanda. Pengakuan Vanny ini pun mengakibatkan dicopotnya Kepala Lapas Narkotika, Thurman Hutapea.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhuk dan HAM) kemudian memutuskan untuk mengisolasi Freddy ke Lapas Batu, Nusakambangan. Namun, keputusan itu ternyata belum cukup membuat Freddy jera. Petugas mendapati lima paket sabu yang disembunyikan Freddy pada celana dalamnya. Selain diisolasi selama 14 hari, Freddy juga mendapat hukuman disiplin 2x6 hari. Selama menjalani hukuman itu, Freddy tidak boleh menerima kunjungan dari siapa pun.
Masih ramai membicarakan kasus Freddy, publik kembali digegerkan dengan ditemukannya bahan membuat sabu dan ekstasi, serta alat yang diduga untuk membuatnya di bengkel Lapas Cipinang saat inspeksi mendadak (sidak) oleh Menhuk dan HAM Amir Syamsuddin, Selasa (6/8/2013) malam. Rumah pertobatan itu semakin ternodai.
Untuk diketahui, napi narkoba mendominasi penghuni lapas di Indonesia. Dari total 117.000 napi, 56.000 di antaranya adalah napi kasus narkoba.
Penyimpangan yang ditoleransi
Mantan Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Adrianus Meliala mengatakan, telah terjadi banyak penyimpangan yang ditoleransi oleh pihak lapas. Mulai dari penyimpangan kecil hingga besar seperti kasus Freddy. Penyimpangan perilaku para napi itu akhirnya menjadi hal yang biasa. Napi lain yang tak ikut-ikutan hanya bisa menutup mata. Bahkan mereka bisa ikut menyimpang karena masuk dalam pergaulan tidak sehat dalam lapas.
"Itu semua penyimpangan yang ditoleransi," kata Adrianus.
"Lapas masalah teknis sebetulnya amat tergantung pada pemerintah dan DPR," kata Kriminolog dari Universitas Indonesia itu.
Adrianus mencontohkan, ada petugas lapas yang awalnya selalu menolak keinginan napi. Namun, lama-kelamaan petugas lapas yang terus dibujuk dan diiming-imingi sejumlah uang dapat tergoda. Hal itu kemudian terus berlangsung seperti adanya regenerasi dalam lapas. Pembinaan yang seharusnya dilakukan dalam lapas tak berjalan dengan baik.
"Ada pihak yang tidak mau terima duit dari penghuni, tapi lama-lama, namanya manusia dan gajinya kecil, kemudian mau terima hal yang besar. Kemudian dia toleransi hal-hal yang besar juga. Ada konteks bahaya secara moral di situ," terangnya.
Napi yang punya uang masih bisa merasakan hidup enak dalam lapas. Kita tentu masih ingat adanya fasilitas mewah para napi kasus korupsi di Lapas Sukamiskin, Bandung. Napi dapat tidur seorang diri dalam satu alas tidur sambil mendengar musik dari Ipad. Mereka bahkan mengunci sendiri kamar selnya dari dalam. Hal ini sangat kontras dengan kondisi lapas lain di daerah yang kelebihan kapasitas lebih dari 200 persen dengan fasilitas minim.
Adrianus sendiri mendukung adanya sidak dari Kemenhuk dan HAM. Menurut dia, sidak memang tak mungkin secara instan menyelesaikan masalah dalam lapas. Setidaknya, sidak berhasil mencegah dan mengurangi penyimpangan yang terjadi.
Akan ada rasa was-was dari sipir atau para petugas lapas dan napi untuk mengulang kembali perbuatannya. Kemenhuk dan HAM pun diminta tegas menindak para oknum petugas lapas yang kongkalikong dengan para napi.
Memang tak semudah membalik telapak tangan untuk menyelesaikan masalah lapas yang kompleks. Namun, selalu ada harapan melahirkan kembali "rumah pertobatan" yang sesungguhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.