KOMPAS.com
 — Sabtu malam, 27 Juli 1996, atau 17 tahun lalu, di Istana Negara yang menghadap Sungai Ciliwung, Jalan Veteran, Jakarta, Presiden Soeharto menyampaikan sambutan dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Saat itu Soeharto bicara soal agama dengan keterbukaan arus informasi. Menghadapi arus informasi, kata Soeharto, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam kecuali menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya seperti telah disampaikan Nabi Muhammad SAW.

”Selain itu, warisan budaya dan tradisi bangsa kita sendiri dalam perjalanan sejarahnya telah mendapat pengaruh yang kuat dari ajaran-ajaran agama, hendaknya terus-menerus kita gali dan kita hayati dalam menghadapi arus informasi yang memperkenalkan budaya yang kurang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa kita,” begitu kata Soeharto.

Soeharto juga mencatat, peranan dan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan kehidupan manusia besar sekali. Namun, kata Soeharto, harus disadari, ilmu pengetahuan dana teknologi bukan segala-galanya. Hidup manusia tidak hanya bersifat kebendaan belaka.

”Hidup manusia lebih rumit dari apa yang kita lihat. Banyak misteri dalam hidup manusia yang belum terpecahkan oleh kemampuan akal manusia. Di sinilah terletak arti penting dari agama dan keberagaman bagi kehidupan kerohanian dan moral kita,” kata Soeharto ketika itu.

Seusai acara di dalam Istana, beberapa wartawan Istana mendapat informasi dari beberapa anggota Paswalpres (Pasukan Pengawal Presiden, sekarang namanya Paspampres atau Pasukan Pengamanan Presiden) bahwa pada subuh hari itu telah terjadi huru-hara di kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

”Ada korban tewas dan cedera,” kata anggota Paswalpres saat itu tanpa memberi penjelasan lebih rinci.

Peristiwa di Jalan Diponegoro sampai saat ini disebut Peristiwa 27 Juli. Pada Sabtu, 12 Oktober 1996, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dipimpin Munawir Sjadzali (ketua) dan Baharuddin Lopa (sekjen) mengumumkan peristiwa 27 Juli menewaskan 5 orang dan 149 orang (sipil dan militer) luka, kerugian materiil Rp 100 miliar, dan 23 orang hilang.

Pengumuman ini mengejutkan pemerintah. Presiden Soeharto dari Istana Negara saat itu minta Komnas HAM memberi bukti jelas tentang temuan itu. ABRI saat itu menyatakan kerusuhan pada 27 Juli didalangi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipimpin Budiman Sudjatmiko. Sementara itu, Soeharto sendiri mengatakan, ada ”setan gundul” dalam peristiwa ini.

Peristiwa 27 Juli merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia yang sampai sekarang belum juga terputihkan. Peristiwa 27 Juli masih tetap rumit sampai saat ini dan merupakan misteri.