Azan Maghrib berkumandang, Endang bergegas mengajak kedua anaknya membatalkan puasa dengan meneguk air putih. Muka Arif Budiman (13) dan Nadjwa (7) mendadak berubah masam ketika tudung saji makanan dibuka sang ayah. Sayur bayam dan tempe goreng yang semula tersembunyi di dalam tudung saji kini ada di hadapan mereka.

”Kok, tempe sama sayur bayam lagi, Pak? Kapan kita makan enak?” tanya Nadjwa, anak kedua Endang.

Air muka sang ayah pun berubah, tak kalah masam, menahan sedih mendengar keluhan anaknya.

Pertanyaan anaknya itu terus terngiang di kuping Endang, sopir truk antarpulau warga Cibalong, Singajaya, Tasikmalaya. Ia berusaha menghibur diri, menu puasa kali ini kadang-kadang bertambah dengan ikan asin.

”Untuk beberapa saat, saya hanya terdiam mendengar pertanyaan seserius itu. Saya kemudian menasihati dia bahwa rezeki itu sudah diatur oleh Allah untuk semua orang, termasuk orang miskin seperti kami. Jadi, apa yang sudah diberikan Allah kepada kita wajib kita nikmati,” ujar Endang.

Bagi orang kecil seperti keluarga Endang, bersyukur satu-satunya jalan meredakan perihnya hidup miskin. Seperti mengandung mantra penghapus kesusahan, kata-kata sang ayah itu meluluhkan hati Nadjwa. Mereka pun lahap menyantap menu buka puasa alakadarnya itu: nasi, sayur, dan tempe.

Hati kecil Endang sesungguhnya tak tega setiap kali menyaksikan keluarganya sahur dan berbuka dengan menu yang itu-itu saja. Apalagi, Nadjwa sering mendengar cerita tetangga, bagaimana mereka sibuk menyiapkan menu berbuka puasa dengan berbagai jenis makanan lezat. Bukan hanya sayur bening dan tempe seperti di rumahnya.

Namun, Endang tak berdaya. Sang istri tak bisa membantu kerja. Anak ketiganya masih terlalu kecil untuk ditinggal, baru berumur dua tahun. Sesekali, Endang menyuruh istrinya untuk membuat kolak dan jajanan sebagai hidangan berbuka.

Endang diupah sesuai waktu kerjanya. Jika intensitas pesanan dari majikannya untuk mengambil sagu di Lampung tinggi, dia bisa mendapat upah Rp 2,5 juta dalam sebulan. Akan tetapi, jika pesanan sepi, kadang dia hanya mendapat upah tak lebih dari Rp 1 juta per bulan.

Tahun lalu, bulan Ramadhan sangat kelam bagi Endang dan keluarganya. Truk yang sehari-hari dioperasikan Endang rusak dan harus masuk bengkel sekitar tiga minggu. Saat itu, Endang harus sekuat mungkin mengencangkan ikat pinggang keluarganya.

Kebutuhan besar untuk kedua anaknya yang sudah sekolah dan si bungsu yang perlu susu kaleng memaksa Endang untuk terus berhemat, bahkan saat bulan Ramadhan sekaligus.

”Saya diajari orangtua untuk menempatkan bulan Ramadhan tidak hanya sebagai bulan yang suci, tetapi juga waktu untuk benar-benar mengendalikan nafsu makan. Saya berusaha mengajari anak-anak seperti itu, tetapi memang tidak mudah,” katanya.

Kerja banting tulang

Kesederhanaan menu sahur juga terhidang di meja makan rumah kontrakan Enom (42), pedagang kerupuk kemplang di Pelabuhan Bakauheni. Menu sehari-hari sahurnya adalah nasi dan sayur nangka. Begitu terus, hampir setiap hari berulang.

Enom tinggal sendirian di Bakauheni karena keluarganya berada di Anyer, Banten.

Kesederhanaan menu sahur dan berbuka Enom bukan karena ia menghemat uang untuk dirinya dan keluarganya berlebaran, melainkan karena saat Ramadhan seperti ini, penumpang kapal penyeberangan Bakauheni-Merak dan sebaliknya berkurang. Akibatnya, penghasilannya juga berkurang. Pada hari biasa, dia bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp 100.000 per hari, tetapi sekarang hanya sekitar Rp 30.000 per hari.

”Bagi saya, menu sahur dan berbuka itu yang penting ada nasinya. Saya hanya sesekali membeli kolak untuk menu tambahan buka puasa, saat pemasukan lebih dari Rp 40.000. Saya syukuri apa yang bisa saya santap itu,” ujar Enom.

Enom sudah berjualan di terminal kedatangan Pelabuhan Bakauheni sebelum matahari menampakkan diri. Lelaki itu baru pulang ke rumah setelah matahari terbenam, begitu dia menjalani aktivitasnya sejak tahun 1985. Ia bekerja banting tulang untuk bisa bertahan.

Serba terbatas

Berkurangnya jumlah penumpang kapal penyeberangan saat awal Ramadhan juga memaksa Sarnah (60), pedagang mi instan dan minuman kopi di Pelabuhan Bakauheni, berhemat, termasuk untuk sahur dan buka puasa. Tahu, tempe, atau kerupuk adalah lauk yang sehari-hari ia santap untuk sahur dan buka.

Tukang becak seperti Buhasim (60) di Muara Angke, Jakarta, dan Abas (36) di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, juga menjalani puasa dalam keterbatasan.

”Bisa buka puasa saja saya sudah bersyukur. Banyak teman saya tidak bisa buka puasa karena penghasilan tak cukup,” kata Buhasim.

Dengan penghasilan hanya Rp 30.000 per hari, Abas mengaku makin kewalahan mengatur pengeluaran keluarganya pascakenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

”Tahun lalu, keluarga kami sesekali masih bisa menyantap daging ayam untuk buka puasa. Puasa tahun ini, kami tidak makan daging karena harganya melonjak setelah harga BBM subsidi naik,” ujar Abas.

Kaum papa itu menjadi potret kesederhanaan jutaan warga kelas bawah di Indonesia. Begitulah, dalam keterbatasan, mereka berusaha mensyukuri rezeki yang mereka dapatkan. Tanpa disadari, mereka telah menangkap makna puasa. (RWN/WER/K01/K06/K13)