JAKARTA, KOMPAS —
  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu pelaku utama penyuapan terkait dengan pengurusan perkara yang masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Dua orang tertangkap tangan KPK, yaitu pengacara pada kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates, Mario C Bernardo, dan pegawai MA, Djodi Supratman, yang diyakini sebagai perantara dan bagian kecil dari jaringan mafia peradilan.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Jakarta, Sabtu (27/7/2013), mengungkapkan, sampai saat ini KPK terus mengembangkan hasil operasi tangkap tangan tersebut. KPK meyakini ada sejumlah pihak lain yang terlibat dalam kasus suap itu. Pihak lain tersebut bahkan diduga memiliki peran yang bisa menghubungkan keterlibatan sejumlah penegak hukum dalam jaringan mafia peradilan di Indonesia.

Pada Kamis lalu, KPK menangkap Djodi di sekitar kawasan Monas, Jakarta. Djodi diketahui merupakan mantan tenaga satpam MA yang kini tercatat sebagai pegawai di Badan Pendidikan dan Pelatihan MA di Megamendung, Bogor.

Seusai menangkap Djodi, KPK kemudian menangkap Mario di kantornya di Jalan Martapura, Nomor 3, Jakarta Pusat. Mario diduga memberikan uang suap kepada Djodi terkait dengan pengurusan perkara penipuan dengan terdakwa Hutomo Wijaya Ongowarsito yang masuk dalam tahap kasasi di MA. Namun, Mario ternyata bukan pengacara yang menangani perkara penipuan itu. ”Kasus ini tentu akan dikembangkan. Apakah ada pihak-pihak lain yang terlibat,” kata Johan.

Ketua KPK Abraham Samad seusai penangkapan terhadap Mario dan Djodi juga memberikan sinyalemen bahwa pihaknya masih memburu pelaku lain. Menurut Abraham, tim lain sedang memburu pihak-pihak tersebut.

KPK bergerak cepat. Setelah menetapkan Mario dan Djodi sebagai tersangka pada Jumat siang, malam harinya sejumlah penyidik langsung menggeledah kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates. Penggeledahan dilakukan sejak pukul 21.00 dan baru berakhir pada Sabtu dini hari. Penyidik membawa sejumlah dokumen dalam tiga kardus. Johan menyatakan masih belum tahu apa yang disita penyidik dalam penggeledahan tersebut.

Dugaan keterlibatan pihak lain yang merupakan penegak hukum dengan posisi penting mengemuka karena baik Djodi maupun Mario dinilai tidak punya peran langsung dalam memengaruhi perkara. Menurut mantan hakim Asep Iwan Iriawan, suap yang diduga dilakukan Mario kepada Djodi itu hanya bagian kecil dari mafia peradilan yang berlapis.

”Tidak logis kalau advokat tidak berhubungan dengan hakim. Ini bagian kecil yang berlapis selnya. Bagian besarnya harus dibongkar. Seorang advokat bermain-main dengan bekas satpam MA,” katanya.

Dari pengalamannya sebagai hakim, kata Asep, ada kecenderungan pihak-pihak yang bermain perkara tak terlalu mempermasalahkan hasil pengadilan tingkat pertama yang mengalahkan mereka. Mereka yang bermain perkara biasanya akan selalu mencari celah di tingkat kasasi.

”Ada kecenderungan, biarlah kalah di PN (pengadilan negeri) atau PT (pengadilan tinggi), tetapi main di MA,” katanya.

Pengacara yang juga pernah meneliti praktik mafia peradilan, Taufik Basari, mengatakan, meski tak ada kaitan dengan perkara secara langsung, pihak-pihak tertentu bisa terlibat dalam jaringan mafia peradilan.

”Pengacara itu biasanya investasi ke orang- orang tertentu,” katanya.

Namun, kuasa hukum Mario, Tommy Sihotang, mengatakan, ”Saya enggak yakin itu kasus suap dengan tiga alasan. Pertama, dia (Mario) lawyer, tapi bukan di kasus itu. Kedua, yang dihubungi itu kerja di Diklat MA dan enggak ada hubungannya dengan kasus. Ketiga, jumlah uangnya. Saya enggak yakin zaman segini masih ada hakim agung yang mau terima Rp 80 juta.”

Dia menduga, yang diberikan Mario kepada Djodi semacam tunjangan hari raya (THR). ”Ini, kan, belum jelas. Ini rezeki, bagi-bagi THR. Mario sial saja. Hakim agung itu minimal tiga (orang), mau dapat berapa?” katanya.

Tommy juga membantah kasus itu terkait dengan Hotma Sitompoel. ”Hotma mengaku tak tahu. Selain itu, tidak ada surat atau dokumen resmi dengan stempel Hotma Sitompoel & Associates,” katanya. (BIL)